Universitas Teknologi Sydney (UTS) baru saja merilis berita akan memberikan kemudahan bagi perempuan untuk masuk ke dalam jurusan IPTEK di universitas tersebut.
Upaya ini dilakukan dengan memberikan 10 poin tambahan bagi calon mahasiswi lokal Australia yang nilai ATAR-nya mencapai standar minimal.
ATAR adalah nilai akhir sekolah menengah seperti NEM di Indonesia yang digunakan sebagai syarat masuk universitas di Australia.
Langkah ini diambil demi meningkatkan jumlah perempuan dalam dunia IPTEK secara keseluruhan mulai dari universitas.
Bagaimana pendapat mahasiswi Indonesia jurusan IPTEK yang sedang belajar di Australia tentang kebijakan menyangkut gender tersebut?
Rosni Lumbantoruan, mahasiswi S3 Sains Komputer Universitas RMIT di Melbourne mengatakan kurang setuju dengan langkah yang diambil Universitas Teknologi Sydney.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat memunculkan "label" negatif bagi perempuan yang berhasil masuk ke jurusan bidang IPTEK.
"Kebijakan ini memunculkan 'label' negatif bahwa mereka (perempuan) mampu masuk ke jurusan tersebut hanya karena diberikan kemudahan oleh pihak universitas," kata Rosni.
"Perempuan yang memiliki nilai lebih tinggi dari lawan jenisnya akan tetap juga dipandang sebagai orang yang diberikan kemudahan, bukan karena kemampuannya."
Data dari Universitas Teknologi Sydney mengatakan persentase lulusan laki-laki lokal jurusan teknik dan komputer dari universitas Australia adalah 80 persen.
Padahal 58 persen dari total mahasiswa di perguruan tinggi di Australia saat ini adalah perempuan.
Pengalaman Rosni yang sudah bertahun-tahun terlibat secara akademis maupun praktek di dunia TIK (teknologi, informasi dan komunikasi) membuktikan bahwa data ini akurat.
"Perempuan di jurusan saya, Sains Komputer, terlebih di program doktor saat ini memang terbilang jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki." kata Rosni.
Jumlah ini namun tidak menjadi masalah baginya dan sama sekali tidak menimbulkan perasaan minder.
"Sejauh ini saya belum pernah mempermasalahkan sedikitnya jumlah perempuan di Sains Komputer," kata Rosni kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Saya bisa bertukar pandangan atau berbagi ilmu dengan teman yang lain tanpa harus melihat apakah dia laki-laki atau perempuan."
Stereotip gender jadi sebab?
Di mata Joan Madeline, mahasiswi S1 Komputer Universitas Deakin, salah satu faktor penyebab minimnya jumlah perempuan dalam IPTEK adalah stereotip tentang bagaimana gender mempengaruhi kemampuan seseorang.
"Mungkin karena stereotip gender di mana laki-laki lebih logis, sedangkan perempuan lebih menggunakan perasaan untuk memecahkan suatu masalah," tuturnya.
"Karena dalam bidang IPTEK banyak soal yang perlu dipecahkan dengan logika."
Bagus Nugroho, pengajar di departemen Teknik Mekanik Universitas Melbourne, membantah asumsi yang mengatakan bahwa perempuan lebih lemah secara akademis bila dibanding laki-laki dalam bidang IPTEK.
Ia justru mengatakan perempuan memiliki kelebihan di hal-hal tertentu menurut pengalamannya mengajar siswa teknik S1, S2 dan S3.
"Selama saya mengajar dan membimbing siswa, saya tidak melihat adanya perbedaan signifikan antara kemampuan akademik laki-laki dan perempuan," kata Bagus.
"Malah dalam beberapa hal yang perempuan lebih baik daripada laki-laki. Contohnya dalam mengerjakan soal ujian perempuan cenderung rapi dan jelas langkah-langkah pengerjaannya."
Usaha dari universitas
Bagus melihat adanya reaksi pro-kontra terhadap kebijakan UTS yang belum pernah dilakukan oleh universitas manapun di Australia itu.
"Saya tidak bisa menilai apakah ini sesuatu yang baik atau buruk," kata dosen asal Yogyakarta tersebut.
"Tetapi melihat berita yang berkembang sepertinya UTS telah mempelajari dengan seksama dan berdiskusi dengan banyak pihak mengenai hal ini."
Bagus membenarkan bahwa jumlah perempuan kalah dengan laki-laki. Jumlah tersebut namun sudah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir.
Kini, ia melihat banyaknya usaha yang dilakukan oleh industri dan dunia akademik di Australia untuk menarik minat perempuan mempelajari teknik.
"Untuk di industri, contohnya seperti peraturan yang sangat ketat terhadap perlindungan dan anti-diskriminasi terhadap perempuan, bantuan keluarga, dan lain-lain," kata dia.
"Untuk di universitas, contohnya di Universitas Melbourne kita mengadakan dukungan via klub, misalnya klub robot yang mendorong perempuan untuk terlibat di bidang robot atau mentoring di mana pengajarnya adalah wanita."
Ia mengatakan kebanyakan usaha yang sedang dilakukan sekarang berporos pada tujuan "membuat lingkungan dunia akademik dan profesional lebih aman dan 'ramah insinyur wanita' tanpa diskriminasi".
Dunia sains Indonesia di jalan benar
Bagus melihat semakin gencarnya kolaborasi antar institusi-institusi Sains di Indonesia yang menandakan adanya kemajuan dalam bidang tersebut.
"Mengenai Indonesia, saya sendiri sudah melihat ada beberapa institusi Sains yang bekerjasama dengan industri yang didukung oleh kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia)," katanya.
"Mungkin yang masih menjadi tantangan adalah jumlah pembiayaan dan proyek yang didukung karena keterbatasan biaya," kata pemegang visa Warga Tetap Australia itu.
"Namun saya melihat arahnya sudah benar."
Pendapat dari Rosni yang sudah bergelut dalam dunia TIK selama bertahun-tahun mendukung pernyataan Bagus tersebut.
"Indonesia adalah negara yang sedang berkembang," kata perempuan yang pernah mengambil S2 Sistem Informasi dan Pengembangan di Belanda itu.
"Saya melihat bahwa dukungan pemerintah dalam bidang sains di Indonesia dengan memberikan insentif penelitian bagi dosen-dosen di Indonesia dan peneliti muda di sana sangatlah baik," kata perempuan asal Medan ini.
"Salah satu yang menurut saya paling menonjol adalah maraknya kerjasama antara perusahaan atau industri dengan universitas untuk menyelesaikan masalah di perusahaan."
Bagus berharap agar seiring berjalannya waktu, perempuan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia IPTEK.
"Sudah bukan zamannya lagi wanita dibatasi atau distigma untuk tidak ambil bidang IPTEK, khususnya teknik."
Pemikiran seperti itu menurutnya "tertinggal dan tidak memiliki alasan yang kuat."
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia