Rangkaian unjuk rasa, kerusuhan, dan dugaan kekerasan terkait Papua juga mendapat perhatian dari Komisioner HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet.
Poin utama:
- Michelle Bachelet prihatn dengan situasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat
- Polda Jatim tetapkan Veronica Koman sebagai tersangka dalam kasus provokasi terhadap warga Papua pada Rabu (4/9//2019)
- Kriminalisasi terhadap Veronica dianggap aktivis HAM makin memperburuk kebebasan berpendapat di Indonesia
Meski menyambut baik langkah aparat Indonesia dalam menahan beberapa tersangka rasisme di Jawa Timur dan memecat aparat yang melakukan kekerasan di Surabaya dan Malang, Bachelet tetap menyampaikan kekhawatirannya.
"Saya prihatin tentang adanya laporan yang menyebut kelompok nasionalis juga terlibat secara aktif dalam kekerasan itu."
"Aktivis HAM, mahasiswa dan jurnalis mendapat intimidasi dan ancaman yang semestinya justru harus dilindungi," tulis Bachelet dalam pernyataan resminya di Jenewa, Swiss hari Rabu (4/9/2019).
Bachelet dalam pernyataannya juga mengapresiasi apa sudah diserukan oleh Presiden Joko Widodo dan pejabat Indonesia lainnya mengenai rasisme dan diskriminasi, masalah yang sudah lama terjadi di Papua, dan seruan adanya dialog dan ketenangan.
"Saya mencatat bahwa beberapa penahanan sudah dilakukan dan beberapa anggota militer sudah dibebastugaskan untuk sementara." kata Bachelet lagi.
Selain pernyataan dari Bachelet, masalah Papua dalam 24 jam terakhir diwarnai dengan penetapan tersangka terhadap aktivis Papua, Veronica Koman, oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).
Penetapan tersangka ini dianggap memperburuk kebebasan berpendapat di Indonesia setelah Veronica dituduh memprovokasi lewat sejumlah postingannya di media sosial Twitter.
"Dari hasil analisa, setiap kejadian unjuk rasa atau kerusuhan yang menyangkut Papua, VK diketahui selalu berada di tempat kejadian walaupun pada saat kejadian yang kemarin VK tidak berada di tempat kejadian namun VK sangat proaktif lakukan provokasi," kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan.
Tuduhan itu, yang disusul dengan penetapan status tersangka terhadap pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tersebut, dinilai memperburuk kebebasan berpendapat di Indonesia.
Amnesty International Indonesia, dalam pernyataan resminya, justru mempertanyakan pihak mana yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat postingan Veronica, yang juga seorang pengacara hak asasi manusia (HAM).
Polisi, desak Amnesty, seharusnya fokus pada orang-orang yang menghasut demonstran yang datang mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya (17/8/2019) dan melakukan persekusi serta tindakan rasisme terhadap mahasiswa di sana.
"Kriminalisasi Veronica Koman akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM terkait Papua," sebut Amnesty.
Kriminalisasi terhadap Veronica juga dikecam Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua.
Kepada ABC, Yan Warinussy -Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari -mengatakan pengacara seperti Veronica tak bisa dituntut secara pidana maupun perdata ketika menjalankan profesinya dengan membela kepentingan klien, yang dalam hal ini adalah KNPB.
"Oleh karena itu, kalau Vero dianggap melakukan pelanggaran dalam konteks tugas profesinya, maka dia semestinya dilaporkan ke organisasi advokatnya lebih dahulu, dan bukan dilaporkan baik secara personal atau institusi ke polisi," sebut pengacara yang mengaku telah berkomunikasi dengan Veronica terkait penetapan status tersangkanya ini.
Bersama dengan aktivis HAM dan sejumlah lembaga hukum lain baik di Papua dan di Jakarta, Yan menyatakan pihaknya siap membela Veronica jika kasus tuduhan provokasi berlanjut.
"Kalau sesuai kapasitas dia sebagai pengacara sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2003, pengertian hukum saya adalah bahwa ketika dia mengalami masalah dalam kaitan dengan tugas profesi dia dalam membela kliennya dan dipermasalahkan seperti yang sekarang terjadi, maka diminta atau tanpa diminta saya bisa mengambil peran untuk membantu dia," jelasnya ketika dihubungi via sambungan telepon.
ABC telah menghubungi Veronica Koman tak lama setelah status tersangkanya diumumkan.
Dari unggahan Twitter-nya, Veronica Koman terlihat mengetahui jika dirinya dicurigai memprovokasi sejak jauh hari sebelum penetapan tersangka oleh Polda Jatim diumumkan (4/9/2019).
Pada tanggal 19 Agustus 2019, ia bahkan sempat menulis:
"Kalau saya memang berniat provokasi, saya bisa. Dokumentasi yang saya terima jauh lebih banyak dari yang saya posting."
"Tapi saya filter mana yang perlu diketahui demi kepentingan publik. Sudah terlalu lama pemerintah menutup apa yang terjadi di Papua."
Desak status tersangka dicabut
Terlepas dari kritikan dan protes dari berbagai aktivis demokrasi dan HAM, Polda Jatim tetap bersikukuh menjerat Veronica dengan pelanggaran terhadap empat undang-undang (UU). Mereka adalah UU ITE (informasi dan transaksi eletronik), UU Nomor 1 Tahun 1946, UU KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 160, dan UU Nomor 40 Tahun 2008.
"VK juga sangat pro aktif melakukan provokasi baik di dalam maupun luar negeri melaui Twitter."
"Di antaranya pada tanggal 18 Agustus 2019 VK menulis di Twiiter 'ada mobilisasi umum aksi monyet turun jalan besok di Jayapura', 'polisi mulai menembaki ke dalam Asrama Papua total tembakan sebanyak 23 tembakan termasuk tembakan gas air mata', '23 mahasiswa ditangkap dengan alasan yang tidak jelas 5 terluka dan 1 kena tembakan gas air mata'," papar Irjen Luki kepada pers (4/9/2019).
Polda Jatim, yang menduga Veronica sedang berada di luar negeri, juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Interpol dalam kasus ini.
Manajer Riset Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, mengatakan kriminalisasi terhadap Veronica itu akan menghambat pihak lain yang ingin mengungkap atau menyebarkan informasi soal dugaan pelanggaran HAM di Papua, wilayah yang dinilainya agak tertutup dari pemantauan HAM.
"Kami menolak (tuduhan terhadap Veronica) dan minta polisi membatalkannya."
"Pasal-pasal yang dikenakan bermasalah dan memberangus kebebasan berekspresi," ujarnya kepada ABC.
Desakan untuk menghentikan status tersangka terhadap Veronica juga diserukan LP3BH Manokwari. Yan Warimussy mengatakan saat ini lembaganya tengah mengkaji upaya komunikasi dengan pemerintah.
"Mungkin ada beberapa tahap."
"Kita lakukan terhadap Pemerintah Indonesia kemudian mengirim surat, surat terbuka barangkali, kepada Presiden, dan kemudian juga kita akan mengirim permohonan kepada Pemerintah Australia untuk memberikan perlindungan terhadap Vero," utara Direktur Eksekutif LP3BH ini.
Simak informasi terkait komunitas Indonesia di Australia lainnya hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.