REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Pemerintah China memprediksi kadar karbon dioksida (CO2) di negara itu akan memuncak pada 2022 atau setahun lebih cepat dari target yang dicanangkan pada 2023. Peneliti senior Institut Riset Energi China, Jiang Kejun, mengatakan prediksi itu kemungkinan terwujud tanpa mengharuskan pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian gas rumah kaca yang ketat.
Komitmen pemerintah China menjaga kadar CO2 sampai 2023 merupakan salah satu poin penting dalam pakta perubahan iklim di Paris, Prancis pada 2015.
Sejak kesepakatan itu dibuat, Pemerintah China menunjukkan ambisi kuat menargetkan penurunan kadar emisi di negaranya. Lembaga kajian pemerintah juga mendorong pemerintah membuat kebijakan lebih ketat untuk menurunkan kadar gas rumah kaca dalam rencana lima tahunannya pada 2021-2025.
Namun, Kejun meyakini pemerintah China mampu menjaga kadar CO2 meningkat hanya sampai 2022 tanpa melakukan banyak perubahan. "China telah memiliki kebijakan kuat, dan buat saya, meneruskan rencana yang telah dibuat sudah cukup," kata Kejun saat menghadiri Fortune Sustainability Forum di Yunnan, Kamis (5/9).
Perubahan apapun yang dibuat China sebagai negara penyumbang emisi terbesar dapat berpengaruh pada upaya dunia mengurangi dampak perubahan iklim. Walaupun demikian, pemerintah China mungkin akan berhati-hati apabila ingin merevisi proyeksi kadar emisinya.
Di lain pihak, Kepala Departemen Iklim Kementerian Lingkungan, Li Gao, pada pekan lalu menyampaikan perang dagang China dan Amerika Serikat berpotensi berdampak pada target menjaga kadar emisi sampai 2023.
Total emisi gas karbon di China sempat menurun pada periode 2014-2016. Tetapi kembali meningkat pada 2017.
Berdasarkan kajian yang dibuat Lauri Myllyvirta, analis energi senior Greenpeace, kadar emisi di China meningkat empat persen pada pertengahan tahun ini. Situasi itu disebabkan oleh meningkatnya aktivitas tambang batu bara, pabrik baja, dan penggunaan semen.
Menurut Yang Fuqiang, penasihat senior pegiat lingkungan asal AS, Natural Resources Defense Coucil, faktor utama yang jadi perhatian adalah aktivitas tambang yang kembali bangkit, dan kemungkinan disetujuinya proyek pembangkit batu bara baru.
Saat ini, menurut Fuqiang, pejabat pemerintah masih membahas rencana penambahan pembangkit batu bara guna mengantisipasi kelangkaan energi di masa depan. Perusahaan energi China memprediksi pemerintah akan menambah kapasitas energi menjadi 1.300 Gigawatt (GW), atau naik sebanyak 300 GW apabila dibandingkan dengan jumlah pada tahun lalu.
Eric Luo, direktur pelaksana GCL, perusahaan energi terbarukan di China, mengatakan penambahan kapasitas sebanyak 300 GW sebenarnya tak begitu dibutuhkan. Sebab target pemerintah menjaga emisi karbon sampai 2022 kemungkinan besar tercapai.
"Setelah 2022, kadar emisi dari batu bara akan turun seiring dengan rendahnya jumlah tambang batu bara baru," kata Eric. Ia menambahkan, penambahan kapasitas pembangkit listrik dari batu bara sebanyak 220 GW juga tak terlalu diperlukan, dikutip dari Reuters.