Rabu 18 Sep 2019 15:13 WIB

Hutan Indonesia Berpotensi Tinggi Terbakar Hingga Akhir September

Kebakaran hutan masih menjadi persoalan klasik di Indonesia.

Red:
abc news
abc news

Mundurnya musim hujan dan masih tingginya jumlah titik panas di Sumatera dan Kalimantan berpotensi mengundang bencana kabut asap lanjutan. Dalam 4 minggu terakhir, ada sekitar 264 kilo hektar lahan di Indonesia yang terdampak aktivitas deforestasi.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia menganalisa tingkat kerentanan lahan terhadap peristiwa kebakaran masih akan tinggi hingga 21 September 2019. Kondisi itu berlaku di beberapa pulau dan provinsi di negara kepulauan ini.

"Berdasarkan analisa kondisi cuaca, tingkat kemudahan terbakar hingga tanggal 21 September masih sangat mudah terbakar di sebagian wilayah Sumatera, yakni Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalimantan yakni Kalbar (Kalimantan Barat), Kalteng (Kalimantan Tengah), Kalsel (Kalimantan Selatan), Kaltim (Kalimantan Timur), Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi," jelas Humas BMKG, Dwi Rini Endrasari, kepada awak media (17/9/2019).

Kebakaran hutan yang dirasa lebih parah tahun ini dinilai BMKG, salah satunya, berpangkal dari mundurnya musim hujan.

"Kondisi ini terjadi karena sebagian besar wilayah Indonesia masih mengalami musim kemarau."

"Secara umum, musim kemarau diprediksi masi berlangsung sampai dengan bulan Oktober 2019," kata Dwi Rini.

BMKG memprediksi, awal musim hujan akan mundur 10 hingga 30 hari dari periode semestinya.

"Jadi baru masuk awal musim hujan pada Oktober di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan, November dan Desember di Jawa, Bali, Sulsel (Sulawesi Selatan), Merauke (Papua)," sambung Dwi Rini.

Puncak musim hujan, kata BMKG, diprediksi terjadi pada bulan Januari dan Februari tahun depan.

Berdasarkan hasil pemantauan citra Satelit Himawari-8 dan analisis Geohotspot BMKG, akumulasi jumlah titik panas yang terdeteksi pekan lalu mencapai ribuan.

Di wilayah Sumatera, terpantau ada 1.231 titik. Sementara di Kalimantan terpantau 1.865 titik, di Semenanjung Malaysia 412 titik, dan di Serawak- Sabah 216 titik.

Analisis lain mengatakan, kabut asap yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan bisa terpantau dari sistem deteksi berbasis satelit atau yang dikenal GLAD alert.

 

Sistem yang mampu mendeteksi deforestasi atau hilangnya wilayah hutan dengan skala detil dalam waktu yang hampir bersamaan ini mencatat adanya 3,436,826 titik deforestasi selama 4 minggu terakhir di Indonesia.

Jumlah itu memengaruhi sekitar 264 kilo hektar lahan yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan.

Menariknya, jumlah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia sejak awal tahun ini justru menurun.

Sebuah inisiatif daring berbasis satelit Global Forest Watch menyatakan ada sekitar 7200 kebakaran hutan di Indonesia dari Januari lalu. Jumlah yang menurun drastis bila dibandingkan 19.600 kebakaran di tahun 2015 dalam periode yang sama.

Pencegahan lebih efektif

Dalam kunjungannya ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau (17/9/2019), Presiden Indonesia Joko Widodo kembali menekankan pentingnya langkah pencegahan.

Jokowi menyadari penanganan titik api yang terlanjur meluas dan mengakibatkan kabut asap parah seperti sekarang ini tak mudah dilakukan.

"Pencegahan itu lebih efektif. Pencegahan itu tidak membutuhkan biaya banyak. Lebih efektif."

"Tapi kalau sudah kejadian seperti yang kita lihat sekarang ini, sudah kerja yang luar biasa (sulitnya)," kata Presiden.

Pemerintah Indonesia mengklaim telah melakukan berbagai upaya pemadaman. Sebanyak 52 pesawat pemadam dan 5600 petugas tambahan sudah dikerahkan, namun api juga belum padam sepenuhnya.

"Apalagi di daerah gambut seperti sekarang ini. Lebih sulit lagi. Kelihatan sudah padam, tapi api di bawahnya masih menganga," sebut Jokowi.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement