Kamis 19 Sep 2019 15:23 WIB

Bagaimana Kasus Papua dan Veronica Sampai di Dewan HAM PBB

Nama aktivis HAM Veronica Koman sempat disinggung dalam pernyataan lisan koalisi LSM.

Rep: Farid M Ibrahim/ Red:
abc news
abc news

Kasus kerusuhan di Papua dan tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat Pemerintah Indonesia telah sampai ke Dewan HAM PBB yang kini memasuki masa sidang ke-42. Nama aktivis HAM Veronica Koman sempat disinggung dalam pernyataan lisan koalisi LSM.

Dewan HAM PBB (Human Rights Council) menggelar masa sidang regulernya di Jenewa, Swiss, sejak tanggal 9 hingga 27 September 2019. Badan PBB ini beranggotakan 47 negara.

Seperti ditayangkan televisi UNWeb TV, dalam Sesi Debat pada sidang 17 September lalu, ada 63 pembicara dalam sidang yang berlangsung lebih dari dua jam tersebut. Sebagaimana layaknya perdebatan, ada delegasi yang secara khusus mengangkat isu-isu tertentu, serta ada delegasi yang memberikan tanggapan.

Dari ke-63 pembicara itu, 44 delegasi memberikan pernyataan, sedangkan sisanya 19 delegasi memberi tanggapan.

Untuk kasus Papua, delegasi Vanuatu yang dipimpin Sumbue Antas, berbicara atas nama Vanuatu dan Solomon Islands.

"Kami prihatin dengan sikap Indonesia yang menunda jadwal dan waktu kunjungan Komisiner HAM PBB ke Papua," kata Sumbue dalam sidang tersebut.

"Kami juga sangat prihatin dengan pelanggaran HAM melalui penyensoran kebebasan berpendapat dan berkumpul serta diskriminasi rasial terhadap orang Papua melanesia," katanya.

Menurut Sumbue, forum pemimpin negara-negara Pasifik mendorong setidaknya Komnas HAM Indonesia bisa berkunjung ke Papua dan memberikan laporan berdasarkan bukti-bukti di lapangan, sebelum digelarnya pertemuan Fourm Pasifik tahun 2020.

Menanggapi hal itu, pimpinan delegasi Indonesia Andreano Erwin menyatakan, situasi terakhir di Propinsi Papua dan Papua Barat terus kondusif.

"Semua langkah-langkah yang diperlukan telah dilakukan dalam menyelesaikan insiden di Malang dan Surabaya," jelasnya.

Pemerintah Indonesia sendiri, menurut Andreano, sangat menyesalkan kejadian itu dan telah memproses hukum para pelakunya.

"Pemerintah dan rakyat Indonesia telah dan akan terus memberantas rasisme dan diskriminasi, bukan hanya melalui penegakan hukum tapi juga melalui pendidikan," katanya.

Menurut Andreano, sejalan dengan kondusifnya situasi, maka pada 4 September 2019 pembatasan data internet pun dicabut.

 

"Pembatasan internet dilakukan untuk mencegah penyebaran berita bohong. Keputusan ini tidak secara khusus dilakukan di Papua saja. Tapi diterapkan juga ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada Mei lalu," ujarnya.

Menanggapi pernyataan delegasi Vanuatu soal kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papau, Andreano menjelaskan pada Februari 2018 Pemerintah RI telah mengundang dia untuk berkunjung ke Papua.

"Tapi karena jadwalnya yang padat, Komisioner HAM PBB mendelegasikan penjadwalan kunjungan itu ke kantor regional di Bangkok," katanya.

"Kami saat ini bekerjasama dengan kantor regional Dewan HAM PBB itu untuk menyiapkan kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papua," jelas Andreano lagi.

Pernyataan lisan LSM

Sementara itu, sejumlah LSM yang peduli dengan isu Papua, secara terpisah menyampaikan "oral intervention" (semacam pernyataan lisan) ke sidang Dewan HAM PBB.

Menurut ketentuan PBB, kalangan LSM atau Komnas HAM suatu negara yang terakreditasi ke lembaga tersebut diperbolehkan berpartisipasi dalam sesi sidang sebagai "peninjau".

Meski sebagai peninjau, mereka juga diberi hak untuk menyampaikan pendapat dana diskusi dan perdebatan yang terjadi.

Untuk kasus Papua, Pernyataan Lisan kalangan LSM dalam Sidang Dewan HAM PBB kali ini disampaikan oleh Irene Valotti.

Dia berbicara atas nama LSM Franciscans International, Dewan Gereja-Gereja Dunia, Westpapua-Netzwerk, Koalisi Internasional untuk Papua, VIVAT International, Geneva for Human Rights - Global Training serta LSM TAPOL.

Berbeda dengan penjelasan delegasi Indonesia, kalangan LSM ini menilai situasi di Papua di saat ini sangat menegangkan.

"Sejak 9 Agustus 2019, aksi protes yang diwarnai kekerasan terjadi di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat, yang dipicu oleh rekaman video aparat keamanan memaki mahasiswa Papua di Surabaya sebagai "monyet", "babi" dan "anjing"," ujar Irene.

Namun, katanya, bukannya merespon dengan dialog, Pemerintah Indonesia malah menerjunkan lebih dari 6000 pasukan ke wilayah itu, sehingga memicu kekerasan lebih lanjut.

"Kami menerima laporan adanya tiga orang warga Papua yang dibunuh di Jayapura, melibatkan milisi pro pemerintah Indonesia," jelasnya.

"Tindakan polisi di Kabupaten Deiyai mengakibatkan 8 warga Papua tewas," tambah Irene.

Koalisi LSM ini menyebut, langkah Pemerintah Indonesia menutup akses internet bukan hanya melanggar hak kebebasan berekspresi tapi juga menyulitkan untuk menverifikasi fakta di lapangan.

"Kami juga sangat prihatin atas penggunaan UU kejahatan siber sebagai taktik untuk mengkriminalisasi pembela HAM seperti Veronica Koman," ujarnya.

Koalisi LSM mendesak Pemerintah Indonesia segera menghentikan pelanggaran HAM di Papua.

"Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog politik dengan pihak-pihak terkait di Papua sehingga memungkinkan adanya solusi damai dan berkelanjutan atas konflik berkepanjangan ini," paparnya.

Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement