Selasa 01 Oct 2019 10:44 WIB

70 Tahun Kekuasaan PKC: Menghimpun Kebanggaan dan Ketakutan

PKC dapat merekayasa kebijakan yang mengangkat tarif hidup jutaan rakyat Cina.

partai komunis cina. (ilustrasi)
partai komunis cina. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Lintar Satria

Baca Juga

Presiden Cina Xi Jinping memiliki ambisi untuk negaranya, yaitu meraih kebangkitan nasional sebagai negara kuat dan makmur pada tahun 2049, tepat 100 tahun kekuasaan Partai Komunis di Negeri Panda itu. Namun, ada satu masalah yang perlu diperhatikan. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga ingin negaranya kembali hebat.

Bentrokan yang muncul antara dua kekuatan dunia ini menjadi pusat tantangan yang dihadapi Partai Komunis Cina (PKC) menjelang perayaan 70 tahun kekuasaan mereka di Negeri Tirai Bambu. Tak diragukan lagi partai itu akan berkuasa lebih lama daripada Uni Soviet yang berkuasa selama 74 tahun sebelum runtuh pada tahun 1991 karena stagnasi ekonomi.

PKC dapat merekayasa kebijakan yang mengangkat tarif hidup jutaan rakyat Cina, mengubah negara itu menjadi kekuatan ekonomi dunia dan pada saat yang sama menindak tegas perbedaan pendapat.

Namun, karena menuanya populasi, makin moderatnya ekonomi dan ambisi Xi, baik di bidang ekonomi maupun militer, bertabrakan dengan kepentingan AS. Formula yang telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun harus segera diubah. Masa ketika Cina menghadapi tantangan yang mudah tampaknya sudah berakhir.

"Tiga puluh tahun terakhir, mereka memiliki ide yang cukup baik. Sepanjang partai memberikan pertumbuhan ekonomi yang kuat, menjadi pragmatik, menjaga stabilitas domestik, tidak mengacau, tidak mengambil risiko besar, mereka akan baik-baik saja. Sekarang mereka tidak tahu," kata pakar politik Cina Claremont McKenna College, Minxin Pei, Senin (30/9).

Karena tingginya pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu, beberapa negara maju termasuk AS ingin ikut berperang di Cina dengan bantuan teknologi dan investasi. Banyak yang yakin, saat Cina makin saling bergantung dengan bagian dunia lainnya, negara itu akan ditarik ke sistem yang mengatur hubungan internasional yang didominasi negara Barat.

Sejalan dengan itu, Cina bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001. Mereka setuju untuk mematuhi peraturan perdagangan internasional sebagai imbalan diizinkan untuk mengakses pasar luar negeri.

Ketika itu banyak suara yang memperingatkan bahayanya membiarkan Cina masuk WTO. Sekarang suara-suara itu kembali mengemuka, mulai dari AS, Australia, sampai beberapa bagian di Eropa.

Pemerintahan Trump melihat Cina sebagai ancaman. Ia membatas akses perusahaan-perusahaan Cina untuk mendapatkan teknologi AS dan meningkatkan tarif impor komoditas mereka. Hal ini memicu balasan dari Cina.

Dalam bidang militer, AS dan Cina bermain tikus dan kucing di Laut Cina Selatan. Angkatan Laut Cina memperluas jangkauan mereka di perairan yang telah lama menjadi lokasi patroli AS. Cina yakin AS, India, dan negara lain menahan kebangkitan mereka.

"Cina akan terus menyelesaikan masalah melalui kerja sama dengan dunia luar, tetapi Cina harus bersiap menggunakan tongkat pemukul untuk menegakkan hak-haknya yang sah dan mempertahankan apa yang telah dicapai dalam 70 tahun," kata profesor hubungan internasional Renmin University, Li Qingsi.

Bukan rahasia lagi Xi berambisi membuat Cina sebagai kekuatan ekonomi dan militer. Ia mengubah pendekatan yang dilakukan pendahulunya, Deng Xiaoping, yang tetap menjaga sikapnya di pentas internasional.

Pakar politik Cina Minxin Pei melacak perubahan ini sejak tahun 2008, empat tahun sebelum Xi menjadi presiden. Perubahan pendekatan ini dimulai ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade dan tidak terpukul oleh krisis keuangan global tahun itu. Kebanggaan diri juga diangkat saat Xi mulai menjabat.

Kebanggaan baru ini akan sepenuhnya ditunjukkan dalam parade tank dan rudal pada peringatan 70 tahun kemerdekaan. Pesan ini tidak hanya ditunjukkan untuk menyulutkan kebangggaan dalam negeri, tetapi juga menciptakan ketakutan negara lain terhadap Cina. n ap ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement