REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Presiden Ekuador Lenin Moreno menyatakan keadaan darurat karena protes meluas di seluruh negeri, Kamis (3/10) waktu setempat. Protes terjadi karena pengakhiran subsidi bahan bakar sebagai bagian dari paket reformasi fiskal pemerintah senilai dua miliar dolar AS.
"Turun dan batalkan kebijakan itu!" teriak pemrotes merujuk pada langkah-langkah yang diberlakukan pekan ini.
Langkah penghapusan subsidi bahan bakar yang mulai berlaku pada Kamis, membuat sopir taksi, bus, dan truk memblokir jalan-jalan di ibu kota dataran tinggi Quito dan di Guayaquil di pantai Pasifik. Stasiun bus juga ditutup.
Kelompok-kelompok pribumi, pelajar dan serikat pekerja bergabung dalam aksi ini. Mereka memblokir jalan dengan batu dan membakar ban.
Di Quito, polisi antihuru-hara menggunakan gas air mata dan mengerahkan kendaraan lapis baja terhadap demonstran bertopeng yang melemparkan batu. "Itu tindakan tak terbatas sampai pemerintah membatalkan keputusan tentang subsidi. Kami melumpuhkan negara," kata pemimpin transportasi bus Abel Gomez seperti dilansir Aljazirah, Jumat (4/10).
Para pejabat mengatakan, penghapusan subsidi bahan bakar diperlukan untuk mengangkat ekonomi serta menghentikan penyelundupan. Moreno, yang memenangkan pemilihan pada 2017 menggantikan Rafael Correa mengatakan kepada wartawan subsidi adalah hal jahat yang berlaku selama 40 tahun.
Menurutnya, subsidi telah mendistorsi ekonomi. Ia menegaskan, tidak akan membiarkan melumpuhkan Ekuador.
"Untuk memastikan keamanan warga negara dan menghindari kekacauan, saya telah memerintahkan keadaan darurat nasional," kata Moreno.
Dia juga menangguhkan beberapa hak dan memberdayakan militer untuk menjaga ketertiban. "Saya memiliki keberanian membuat keputusan yang tepat untuk bangsa ini," katanya.
Beberapa kelompok pengunjuk rasa yang berusaha mencapai istana presiden di pusat kota Quito bentrok dengan polisi. Di Guayaquil, beberapa toko dijarah.
Menteri Dalam Negeri Ekuador Maria Romo mengatakan 19 orang ditangkap karena menghalangi jalan dan kejahatan lainnya. "Kurangnya transportasi mempengaruhi kita semua, tetapi kenaikan harga bensin yang sama akan mempengaruhi kita," kata seorang warga Cesar Lopez (39 tahun).
Dengan populasi lebih dari 17 juta orang, Ekuador memiliki sejarah panjang ketidakstabilan politik. Demonstrasi besar pernah menggulingkan tiga presiden selama kekacauan ekonomi pada dekade sebelum Correa berkuasa pada 2007.
Sebelumnya, Menteri Ekonomi Richard Martinez mengatakan berharap bisa menghemat sekitar 1,5 miliar dolar AS setahun dari menghilangkan subsidi bahan bakar. "Seiring dengan reformasi pajak, pemerintah akan mendapat keuntungan sekitar 2,27 miliar dolar AS," katanya.
Pada Selasa, Ekuador mengumumkan akan meninggalkan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memompa lebih banyak minyak dan meningkatkan pendapatan. Ekuador memompa 545 ribu barel per hari.
Perusahaan energi negara, Petroecuador, mengatakan fasilitas minyak beroperasi dengan normal meski terjadi kerusuhan, Kamis. Pemerintah berniat mengurangi defisit fiskal dari sekitar 3,6 miliar dolar AS tahun ini menjadi di bawah satu miliar dolar AS pada 2020.
Utang Ekuador tumbuh di bawah Correa, yang mendukung Moreno dalam pemilihan umum 2017. Namun, sejak itu telah menjadi kritik atas penggantinya yang beralih ke kebijakan ekonomi yang lebih ramah pasar. Pemerintah Moreno telah meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat (AS) sehingga mencapai kesepakatan 4.2 juta dolar AS dengan IMF pada Februari.
Kendati demikian, keraguan IMF berjalan kuat di Ekuador dan di seluruh Amerika Latin, di mana banyak menyalahkan kebijakan penghematan untuk kesulitan ekonomi. "Kami akan menutup semua jalan utama. Kami lelah dengan janji-janji palsu, kami tidak buta terhadap pemerintah yang tidak melakukan apa-apa untuk rakyat," kata sopir taksi Sergio Menoscal (55) membantu memblokir jalan di Guayaquil.