Lembaga pegiat HAM Amnesty International mendesak Pemerintah Malaysia menghapuskan hukuman mati terhadap pelaku narkoba dan yang lainnya, dalam laporan yang dikeluarkan hari Kamis (10/10/2019) bertepatan dengan Hari Peringatan Anti Hukuman Mati Dunia.
Amnesty International mengeluarkan laporan berjudul Fatally flawed: Why Malaysia must abolish the death penalty yang menggambarkan adanya penyiksaan dan cara-cara lain agar pelaku mau mengakui tindakan yang mereka lakukan serta tidak adanya bantuan hukum memadai bagi mereka yang dijatuhi hukuman mati.
"Dari tuduhan adanya penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya sampai proses pengampunan yang tidak samar, jelas sekali bahwa hukuman mati merupakan noda dalam sistem keadilan di Malaysia," kata Shamini Kaliemuthu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Malaysia.
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa 73 persen dari mereka yang sudah dijatuhi hukuman mati yaitu sebanyak 930 orang karena kejahatan yang berhubungan dengan narkoba, hal yang bertentangan dengan hukum HAM inteernasional.
Juga hampir 50 persen yang dihukum mati di Malaysia adalah warga asing.
Setahun lalu, pemerintah Malaysia yang baru yang dipimpin Perdana Menteri Mahathir Muhammad mengumumkan menghilangkan hukuman mati bagi semua tindak kriminal, dengan sebelumnya di bulan Juli 2018 mengatakan tidak akan melakukan eksekusi lagi.
Sidang parlemen Malaysia tahun 2019 akan mulai bersidang di bulan Oktober, dan sejauh ini pemerintah sudah mengajukan RUU untuk menghentikan keharusan bagi penjatuhan hukuman mati, namun hanya untuk 11 kejahatan saja.
Saat ini di Malaysia ada 33 tindak kriminal yang bisa dijatuhi hukuman mati, dengan 12 tindak kejahatan hukumannya harus hukuman mati.
Dalam beberapa tahun terakhir, hukuman mati itu hanya dijatuhkan untuk kasus pembunuhan dan perdagangan narkoba.
Menurut Amnesty International, dari 1281 orang yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati di Malaysia, 568 orang adalah warga asing, yang kadang menghadapi masalah serius untuk mendapatkan bantuan konsuler dari kedutaaan negara mereka dan jasa penerjemahana.
Amnesty International juga mengatakan bahwa etnis minoritas di Malaysia porsinya lebih besar yang dijatuhi hukuman mati, dan sebagian mereka berasal dari latar belakang yang tidak menguntungkan.
Dalam rinciannya Amnesty mengatakan bahwa 73 persen dari mereka yang sudah dijatuhi hukuman mati dinyatakan bersalah karena kejahatan narkoba dan lebih dari separuh diantara mereka adalah warga asing.
Salah satu hal yang ditekankan oleh Amnesty dalam laporannya adalah bahwa banyak pelaku kejahatan narkoba yang dihukum mati di Malaysia ini adalah perempuan yang kebanyakan dipaksa untuk membawa narkoba masuk ke Malaysia karena tekanan ekonomi atau hal lain.
"Karena keharusan penjatuhan hukuman mati membuat hakim tidak memiliki keesempatan untuk mempertimbangkan penyebab para wanita itu melakukan tindakan yang mereka lakukan." tulis Amnesty.
Tak ada penerjemahan yang memadai
Amnesty juga mengatakan bahwa tidak saja masalah bahasa menjadi bagian dari permasalahan bagi pelaku yang berasal dari Malaysia, namun warga Malaysia sendiri yang tidak bisa berbahasa Melayu mengalami masalah ketika menghadapi kasus hukum.
Sebagai contohnya, adalah Hoo Yew Wah, warga Malaysia keturunan China yang ditahan di tahun 2005 di usia 20 tahun yang menggunakan methamphetamine atau yang lebih dikenal sebagai shabu-shabu di Indonesia.
Dia dinyatakan bersalah berdasarkan pengakuannya dalam bahasa Mandarin, namun polisi kemudian merekamnya dalam bahasa Melayu.
Dia mengatakan pernyataan yang ditandatanganinya tidaklah akurat, namun polisi melakukan penyiksaan selama interogasi sehigga salah satu jarinya patah.
Polisi juga mengancam akan memukul pacarnya bila dia tidak mau menandatangani pengakuan.
Hoo Yew Wah, menurut Amnesty International juga tidak didampingi pengacara selama proses interogasi. Sejak tahun 2011, Hoo Yew Wah sudah menuggu eksekusi hukuman mati.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia