Jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi korban tindak kejahatan kekerasan seksual berbasis gambar semakin meningkat dan sebagian besar mereka yang melapor adalah perempuan dewasa.
Perempuan yang diperas dengan ancaman penyebaran foto atau video berbau pornografi oleh teman yang ditemuinya di situs kencan menjadi salah satu tren yang mengkhawatirkan.
Tren ini diungkapkan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang selama ini banyak mengadvokasi kasus kekerasan yang dialami perempuan.
Permina Sianturi dan Tuani Sondang Marpaung adalah staf LBH APIK yang kerap melayani pengaduan tersebut.
Mereka menuturkan hampir setiap bulan kantornya didatangi perempuan dari berbagai kalangan usia yang mengaku dirinya menjadi korban kejahatan seksual dalam bentuk penyebaran foto atau video eksplisit seksual tanpa izin atau persetujuan korban.
Khusus pada tahun ini, salah satu tren yang disoroti LBH APIK adalah korban yang melapor sejauh ini didominasi perempuan dewasa yang menjadi korban ancaman dan pemerasan dari teman yang dikenalnya di situs kencan.
"Tahun 2018 lalu yang melapor rangenya mulai dari SMP, SMA dan wanita dewasa, tapi untuk 2019 ini trennya lebih banyak yang melapor adalah wanita dewasa. "
"Mereka kebanyakan bertemu pelaku di situs kencan seperti tinder dan lainnya," tutur Permina Sianturi membuka percakapan dengan ABC di kantor LBH APIK di Jakarta pekan lalu.
"Mitra kami umumnya berkenalan di situs Tinder dan lainnya, mereka kemudian bertemu dan melakukan hubungan seksual. "
"Sebagian besar awalnya memang ada consent (persetujuan) untuk berhubungan seksual, tapi pelaku ternyata tanpa sepengetahuan mitra memfoto atau memvideokan dan oleh pelaku itu dijadikan alat untuk memeras mitra," lanjut perempuan yang lebih akrab disapa Butet ini.
"Pelaku mengancam kalau gak mau mengirimkan sejumlah uang fotonya itu akan disebarkan atau kalau tidak uang pelaku memaksa melakukan hubungan badan lagi. Karena takut mitra akhirnya meladeni kemauan pelaku," tambah Butet.
Sementara Tuani Sondang Simatupang menceritakan beberapa mitra yang ditanganinya mengaku terjebak dalam masalah ini karena perilaku sexting atau phone sex dengan teman atau pasangannya.
"Mitra saya dan pelaku adalah teman kuliah istilahnya TTM (teman tapi mesra). Mereka sering berkomunikasi dan kemudian melakukan phone seks dan ternyata itu direkam.'
"Pelaku kemudian memeras korban untuk dibayarkan uang kuliahnya, kalau tidak rekaman phone seks itu akan disebar."
"Pelaku bahkan seperti tawar menawar sekali berhubungan badan dengan saya, 4 foto telanjangnya akan dihapus. Dia bahkan sampai menawar sekali tidur dengannya, seluruh foto bugilnya akan dihapus."
"Mitra kami sangat depresi dan untungnya orang tuanya memperhatikan perubahan sikap pada anaknya, anaknya sering murung dan pulang kuliah larut malam."
"Setelah didesak akhirnya anaknya menceritakan itu kepada orang tuanya."
Kedua contoh kasus ini menurut Butet dan Tuani menekankan semakin rentannya perempuan menjadi korban kekerasan seksual berbasis gambar.
"Pelaku bisa siapa saja, tidak hanya pacar atau pasangan resmi."
"Selama mereka memiliki foto atau video syur maka setiap ada kesempatan entah itu ada masalah dalam hubungan mereka atau mereka memang ada kebutuhan lain, maka foto atau video itu bisa dijadikan senjata mereka untuk melakukan ancaman atau pemerasan," kata Tuani.
Hambatan advokasi
Masifnya penggunaan gawai serta cepatnya perkembangan teknologi komunikasi dan internet tidak selalu dibarengi kesadaran perempuan untuk melindungi diri mereka dari kejahatan seksual di era digital ini.
Sehingga meski ramai diberitakan di media kasus-kasus ancaman penyebaran foto atau video oleh mantan pacar atau pasangan, namun korban perempuan terus berjatuhan.
"Korban biasanya belum paham risiko berfoto atau direkam gambar eksplisitnya karena awalnya korban itu percaya saja karena yang meminta pacarnya."
"Dia dibujuk kan kamu sayang aku, atau nanti juga kamu jadi isteri saya dan sebagainya." kata Butet.
Sementara merujuk pada pengalaman LBH APIK advokasi kasus seperti ini sering kali menemui hambatan lantaran lemahnya perlindungan hukum dari UU yang ada.
"Advokasi kasus seperti ini sering memakan waktu panjang. Proses di kepolisian masih lama sekali karena proses forensik digital itu bisa memakan waktu bulanan."
"Kadang biaya mendatangkan saksi ahli masih dibebankan pada korban lagi. Kasus yang kami advokasi dengan korban masih SMP, kasusnya sudah setahun tapi belum juga disidangkan." kata Tuani.
Sementara Butet menyoroti lemahnya aturan hukum yang ada saat ini yang dinilai belum mampu melindungi perempuan.
Korban kekerasan seksual berbasis gambar menurutnya justru bisa terancam dijerat pasal penyebarluasan konten pornografi dalam UU Pornografi.
"Kadang kita dilematis juga untuk melaporkan kasus yang masuk ke polisi, karena kita perlu mempertimbangkan nanti kalau kita laporkan apakah korban malah justru bisa dijerat UU Pornografi.'
"Polisi kan gak mau tau kenapa dia mau [berfoto bugil,red] dan gak mau tau juga kalau ada relasi disitu, makanya terkadang kita kalau menerima pengaduan kita akan memeriksa dulu bukti yang diajukan."
"Baru memilih solusi terbaik untuk korban, bisa jadi berakhir dengan mediasi," papar Butet.
Pentingnya pengesahan RUU PKS
Kondisi inilah yang menurut LBH APIK sangat mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk segera disahkan.
Sementara itu di tengah lemahnya perlindungan hukum, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Mariana Aminuddin menilai pentingnya kesadaran perempuan untuk menolak melakukan foto atau video yang berisiko disalahgunakan.
"Jangan pernah memfoto diri sendiri atau difoto orang lain di ruang privasi dan harus dibayangkan suatu hari rekaman itu akan digunakan orang lain untuk kejahatan atau mencemarkan nama baik anda." kata Mariana Aminuddin.
"Perempuan harus tegas dalam sebuah hubungan pribadi. Kalau diminta melakukan itu tolak aja nyatakan didepan kalau saya tidak mau ada tindakan seperti itu."
"Dan itu bukan berarti tidak percaya, tapi karena itu berbahaya untuk perempuan." Tegasnya.
Di sisi lain Komnas Perempuan menurut Mariana juga tengah menjalin kerja sama dengan penyedia layanan aplikasi sosial media seperti Instagram, Facebook dan Whatsapp .
Kerja sama untuk lebih gencar mengkampanyekan kesadaran untuk mencegah penggunanya menjadi korban kejahatan seksual berbasis gambar.
"Mulai dari sekarang perlu ada kampanye juga dari perusahaan sosmed bahwa pengguna harus hati-hati untuk tidak menggunakan aplikasi itu untuk hal-hal yang pribadi."
"Kalau saya melihat aplikasi ini yang harus memberikan peringatan semacam ini, walau pun sudah ada setting ya untuk privasi tapi harus dinyatakan lagi karena kadang-kadang orang lupa."katanya.
Namun menurutnya tanpa adanya payung hukum seperti RUU PKS kerjasama semacam ini juga sulit untuk memiliki legitimasi yang kuat.
"Kuncinya di RUU PKS karena RUU itu sangat memahami setiap bentuk kekerasan seksual termasuk yang terjadi di dunia siber."
"Karena selama ini perempuan lebih sering disalahkan jika menjadi korban dari kasus semacam ini." tegas Mariana Aminuddin.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia