Selasa 15 Oct 2019 08:00 WIB

Banyak Warga Jakarta tak Paham Kandungan Produk Pangan

Separuh warga Jakarta jarang membaca informasi pada label kemasan produk pangan

Red:
.
.

Sekitar separuh warga Ibu Kota Jakarta jarang membaca informasi pada label kemasan produk pangan yang mereka beli, termasuk informasi tentang peringatan kesehatan dari produk itu.

Di sisi lain, informasi peringatan kesehatan pada produk, seperti kandungan pemanis buatan, dianggap tidak efisien.

Survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan hanya ada 31 persen responden yang selalu membaca informasi pada kemasan produk pangan, lebih rendah 20 persen dibanding mereka yang jarang membacanya.

Sementara 18 persen lainnya bahkan mengatakan tidak pernah membaca informasi itu sama sekali.

Ardia (24) termasuk golongan konsumen yang hampir tidak pernah membaca informasi produk pangan, padahal ia sering mengonsumsi minuman serbuk kemasan.

Kepada ABC, warga Jakarta ini mengaku ia memilih produk berdasarkan rasa produk itu sendiri.

"Lagi mau minum rasa apa...pengen jeruk, cari yang rasa jeruk...mau melon cari yang melon..begitu aja," tuturnya.

Ketidaktahuan menjadi alasannya untuk melewatkan informasi kandungan dari produk yang ia konsumsi.

"Ya habisnya kalau baca juga enggak ngerti bahasa kimianya kan...apalah itu," sebutnya.

Lia (43) juga termasuk konsumen yang tak pernah membaca informasi kandungan dari produk pangan yang ia beli.

Ia sendiri mengaku jarang membeli produk pangan kemasan lantaran tidak menyukainya.

"Paling kalau pengen banget, biasanya saya beli yang mereknya sudah terkenal."

"Biasanya kalau harganya murah saya enggak percaya. Ada yang satu sachet 1000-an, pasti bahannya beda sama yang harganya satu sachet 2000. Begitu saja sih mengukurnya,"

Namun warga Jakarta ini mengatakan cukup paham tentang pemanis buatan.

"Makanya saya jarang beli. Kalau mau minum manis, saya buat teh manis saja atau sirup. Soalnya suka batuk kalau minum begituan," ujarnya kepada ABC.

Dalam surveinya, YLKI mewawancarai 90 responden di Jakarta Selatan yang terdiri dari atau berhubungan erat dengan 3 kelompok rentan. Mereka adalah ibu hamil, ibu menyusui dan orang tua dari anak di bawah usia 5 tahun.

 

Hampir separuh atau tepatnya 47,8 persen responden menyatakan mereka pertama kali memperhatikan varian rasa ketika membeli produk kemasan. Sementara mereka yang pertama kali memperhatikan komposisi produk hanyalah 30 persen.

Menariknya, 56 persen responden pernah membaca kandungan pemanis buatan dalam produk pangan yang mereka beli walau hanya 4 persen yang mengetahui tentang jenis-jenis pemanis buatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 33 Tahun 2012, ada 13 jenis pemanis dan pemanis buatan yang diizinkan digunakan dalam produk pangan yang beredar di Indonesia.

Walaupun produk dengan pemanis buatan ini legal, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan produk-produk itu memiliki efek samping, tak hanya terhadap 3 kelompok rentan.

"Makanya perlu pengendalian, makanya ada peringatan kesehatan. Misalnya, produk yang bertuliskan sugar free, orang tahunya kan bebas gula. Asumsinya orang yang punya penyakit gula bisa konsumsi."

"Ternyata isinya pemanis buatan yang sama-sama manis dan bahkan bisa lebih jahat dibanding gula itu sendiri," komentar Tulus.

Tulisan terlalu kecil

Sebanyak 92,2 persen responden survei yang dilakukan YLKI selama periode Maret-April 2019 ini mengatakan, informasi tentang peringatan kesehatan, termasuk kandungan pemanis buatan, seringkali dilewatkan karena cetakan tulisan di kemasan terlalu kecil.

Alasan berikutnya adalah tulisan yang tercetak samar (88,9 persen) dan tersembunyi (66,7 persen).

Jika merujuk Permenkes Nomor 33, Tulus menyebut pengawasan pasca pasar yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia kurang efektif.

"Jadi pesan kesehatan tidak sampai."

"Seharusnya ketika ada informasi penting, tulisannya dibuat menarik sehingga bisa secara jelas dilihat oleh para calon konsumen. Karena ini penting untuk kesehatan," katanya.

Dihubungi ABC, Kepala BPOM mengatakan pihaknya telah menerima laporan dari jajak pendapat tersebut.

"Tentu kita menyambut baik hasil survei, masukan dari konsumen tersebut ya."

"Dan kami siap untuk mendiskusikan dengan YLKI sebagai masukan untuk pengawasan, dan kemungkinan revisi peraturan tentang label," sebutnya.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement