Selasa 15 Oct 2019 11:42 WIB

Banyak Perusahaan Pertimbangkan Hengkang dari Hong Kong

Bagi mereka yang mempertimbangkan pindah, Singapura menjadi tujuan populer.

Warga Hong Kong berkumpul di mal di Sha Tin, Rabu (2/10), sebagai bentuk demo aras tertembaknya pengunjuk rasa muda di dada oleh kepolisian.
Foto: AP
Warga Hong Kong berkumpul di mal di Sha Tin, Rabu (2/10), sebagai bentuk demo aras tertembaknya pengunjuk rasa muda di dada oleh kepolisian.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kamar Dagang Amerika di Hong Kong (AmCham) menemukan dalam sebuah survei pekan lalu, sebanyak 46 persen responden pesimistis terhadap prospek jangka panjang Hong Kong. Angka tersebut naik dari 34 persen dalam jajak pendapat serupa yang dilakukan selama tahap protes pemerintah pada Juli lalu.

Sekitar 82 persen dari perusahaan yang disurvei mengadakan diskusi rutin dengan kantor pusat tentang manajemen krisis dan penanganan staf untuk mengatasi kesenjangan sosial dan tekanan yang meningkat. Langkah tersebut untuk membuat penyesuaian strategi operasional dan investasi. Sebagian besar dari mereka membuat rencana darurat untuk menghadapi dampak bisnis.

Baca Juga

"Fakta mayoritas perusahaan yang disurvei mengatakan mereka tidak akan meninggalkan kota ini menyoroti pentingnya Hong Kong sebagai pusat strategis dan bisnis di Asia. Namun, meningkatnya risiko masih berfungsi sebagai faktor yang pada akhirnya dapat mendorong mereka keluar," kata kata presiden AmCham Tara Joseph, dikutip dari South China Morning Post, Selasa (15/10).

Joseph menyatakan, survei ini menjadi alarm bagi semua yang menghargai Hong Kong sebagai pusat bisnis yang dinamis dengan aturan hukum dan arus informasi yang bebas. Sangat penting untuk mengakhiri kekerasan, dan pemerintah perlu meningkatkan dan mempromosikan rekonsiliasi sebelum reputasi jangka panjang Hong Kong hancur.

Jajak pendapat mengungkapkan hanya tujuh persen dari responden sekarang merasa optimistis Hong Kong akan mengatasi masalah jangka pendek, dibandingkan dengan 20 persen pada Juli. Namun, mayoritas belum mempertimbangkan memindahkan modal, aset, atau operasi bisnis keluar dari Hong Kong. Bagi mereka yang mempertimbangkan untuk pindah, Singapura adalah tujuan paling populer.

Survei tersebut mencangkup 1.200 anggota, dengan 124 anggota atau 10,3 persen menanggapi jajak pendapat dalam upaya untuk mengukur penilaian risiko, dampak dari kerusuhan yang sedang berlangsung pada bisnis dan strategi serta rencana bisnis. AmCham sendiri memiliki sekitar 1.400 anggota.

Kepala penelitian di Shanghai Commercial Bank Ryan Lam Chun-wang mengatakan, penurunan simpanan 1,6 persen atau 111 miliar dolar Hong Kong di kota itu antara Juli dan Agustus telah mengirim sinyal negatif ke pasar. "Penurunan ini tidak normal dan menunjukkan uang telah pergi ke tempat lain dari Hong Kong," katanya.

Namun, kepala eksekutif dari Otoritas Moneter Hong Kong Eddie Yue Wai-man membantah ada aliran modal keluar yang signifikan dari Hong Kong. Hasil jajak pendapat menjadi panas karena undang-undang baru yang efektif mulai 5 Oktober yang melarang orang mengenakan topeng di tempat umum. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam meminta Ordonansi Peraturan Darurat era kolonial untuk memberlakukan hukum dalam upaya memadamkan kerusuhan yang sedang berlangsung.

Lam mengatakan pidato kebijakan tahunannya pakan ini akan fokus pada kondisi di negara tersebut dan perumahan, Selasa (15/10). Isu tersebut berangkat dari protes antipemerintah yang telah berjalan berbulan-bulan dan tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Lam mengatakan, masalah mata pencaharian adalah prioritas paling penting bagi pemerintahannya. Pemerintah pun harus mempertimbangkan segala cara untuk mengakhiri kekerasan.

Lebih dari empat bulan unjuk rasa terjadi di Hong Kong. Kondisi ini menghadirkan tantangan terbesar bagi Presiden China Xi Jinping sejak berkuasa pada 2012. Kondisi ini pun mendorong Hong Kong ke dalam krisis politiknya yang paling sulit sejak Inggris menyerahkan kepada China pada 1997.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement