REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kerawanan pangan di Korea Utara (Korut) berada pada level yang mengkhawatirkan. Dari total populasi 11 juta orang, hampir separuhnya mengalami kekurangan gizi.
Hal itu diungkap penyidik independen hal asasi manusia (HAM) PBB di Korut Tomas Ojea Quintana. Saat berbicara di hadapan komite HAM Majelis Umum PBB pada Selasa (22/10), dia mengatakan 140 ribu anak Korut diperkirakan menderita kurang gizi. Sebanyak 30 ribu di antaranya menghadapi risiko kematian.
Quintana menilai, Pemerintah Korut, yang memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan akses terhadap makanan telah melanggar kewajibannya HAM-nya karena kegagalan kebijakan ekonomi dan pertanian. "Kondisi iklim, tanah yang tidak subur, bencana alam, dan dampak negatif dari sanksi (ekonomi) telah berkontribusi pada kerawanan pangan lebih lanjut," ujarnya, dikutip laman Aljazirah.
Quintana mengatakan pertanian kolektif dan kegagalan untuk memungkinkan petani memperoleh manfaat dari petak-petak tanah individual semakin memperburuk kerawanan pangan. "Diskriminasi yang menyebar dalam sistem distribusi publik berarti bahwa warga negara biasa, terutama petani dan orang-orang di daerah pedesaan, belum menerima ransum apa pun," ucapnya.
"Pada saat yang sama, pemerintah telah gagal menempatkan kondisi di mana orang dapat dengan aman terlibat dalam perdagangan dan barter di pasar tanpa menghadapi kriminalisasi, pemerasan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya," kata Quintana.
Kendati demikian, menurut Quintana, sebagian besar warga Korut sekarang terlibat dalam kegiatan pasar semacam itu untuk kelangsungan hidup mereka. Secara lebih luas, Quintana tidak melihat adanya peningkatan dalam pemenuhan HAM di Korut, setidaknya selama tiga tahun dia menjadi pelapor khusus di sana. Kesenjangan perlakuan antara yang miskin dan kaya masih mencolok.
Hanya mereka yang memiliki uang memiliki akses ke hak-hak dasar seperti pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, dan kebebasan ruang gerak. Sementara yang tak mempunyai uang, sangat sulit memperoleh hal-hal demikian.
Masyarakat di sana juga masih hidup dalam belenggu ketakutan. Pemantauan dan pengawasan ketat warga dilakukan. "Jika Anda dianggap sebagai mata-mata dari negara-negara bermusuhan atau pengkhianat, ketika pada kenyataannya Anda hanya menggunakan HAM Anda, Anda dapat tiba-tiba di dibawa oleh agen dari Kementerian Keamanan Negara ke kwansilo (kamp tahanan politik) dan tidak pernah terlihat lagi," kata Quintana.
Oleh sebab itu, mereka yang melarikan diri dari Korut tidak boleh dipulangkan secara paksa. Hal itu karena ada kemungkinan besar mereka akan disiksa atau menghadapi pelanggaran HAM serius lainnya.
Menurut Quintana, Korut telah menerim 12 rekomendasi dari negara anggota PBB. Satu di antaranya adalah tentang akses langsung, bebas, dan tanpa hambatan bagi organisasi kemanusiaan internasional untuk menyalurkan bantuan, termasuk pada kelompok paling rentan, yakni tahanan.