Rainbow City tadinya hanya berupa hamparan padang rumput di Pulau Efate, Vanuatu. Tapi kini kawasan itu disebut-sebut sebagai cikal-bakal "Singapura Kecil" di Pasifik.
Rumput perlahan diganti dengan jalanan, tanah pun ditimbun untuk fondasi apartemen, villa dan pusat perbelanjaan.
Sepetak "surga" di Efate, pulau yang juga jadi ibukota Vanuatu ini, nantinya akan berubah menjadi kota kecil bagi orang asing. Dalam 10 tahun ke depan, bangunan-bangunan baru di lahan seluas 86 hektare itu akan mengerdilkan desa-desa sekitarnya.
Proyek ini didukung investasi swasta dari China, dan sejauh ini tercatat sebagai pembangunan kawasan perumahan terbesar di Vanuatu.
Di tengah kekhawatiran Australia dan Amerika Serikat terhadap pengaruh China di Vanuatu dan Pasifik, investasi seperti Rainbow City ini justru sedang booming di sana.
Warga setempat menganggapnya sebagai sumber kegelisahan dan ketidaknyamanan mengenai masa rumah mereka sendiri.
Singapura kecil di Pasifik
Sosok di balik proyek Rainbow City adalah Ruimin Cheng, yang telah tinggal di Vanuatu sekitar 10 tahun, dan warga setempat mengenalnya sebagai Amy Feng.
Dia pimpinan FPF, sebuah perusahaan di ibukota Vanuatu, Port Vila, yang juga mengelola suratkabar mingguan dan menyediakan jasa untuk program kewarganegaraan Vanuatu untuk orang asing.
Rainbow City, kata Cheng, merupakan upayanya untuk berkontribusi bagi perekonomian Vanuatu. "Kami ingin membantu Vanuatu, membuka pasar turis, mendatangkan turis ke sini," katanya kepada ABC News.
"Orang-orang dari berbagai negara akan datang ke sini, Inggris atau Australia, China atau Hong Kong, Makau," tambahnya.
Meskipun proyek ini seolah-olah ingin investor dari seluruh dunia, namun jelas sekali pemasaran dan desain perumahan - yang mereka sebut "Singapura Kecil" - diarahkan untuk investor dari Asia.
Tahap konstruksi sudah berjalan, tapi sejauh ini belum satu pun properti yang terjual, atau bahkan dipasarkan. "Sudah banyak orang bertanya berapa harganya jika ingin membeli," kata Cheng.
"Kami akan segera memasarkannya," lanjutnya menjelaskan, penjualan properti pertama diperkirakan sekitar akhir tahun ini.
Tahap pertama pengembangan kawasan ini didanai perusahaan milik Cheng, baik yang berbasis di Vanuatu maupun yang di China. Ketika didesak lebih jauh, dia tidak bersedia menjelaskan secara terperinci perusahaan mana membiayai proyek tersebut.
Kota kecil berdinding
Kehadiran dinding beton yang mengelilingi komplek perumahan itu merupakan hal pertama yang dibangun pihak perusahaan. Penduduk asli yang disebut sebagai ni-Vanuatu, merasa tidak nyaman dengan kehadiran tembok pemisah tersebut.
Seorang warga sekitar, Graham Toara, menyatakan curiga dengan hadirnya tembok-tembok pembatas ini.
Meskipun pengembang menjanjikan bahwa ni-Vanuatu nantinya bisa mengakses sekolah dan rumahsakit di sana, namun Toara tidak percaya begitu saja.
"Bila kita bicara tentang sebuah kota - artinya tidak boleh ada dinding tembok," katanya.
"Bila membangun kota, kita seharusnya menghilangkan dinding tembok," tambah Graham.
Dia merasa sangat frustrasi dan bingung bagaimana nantinya dia menghadapi penghuni asing di kawasan kota kecil yang dipagari di dekat kampungnya itu.
"Kami tidak memahami kehadiran Rainbow City ini. Pemerintah perlu menjelaskannya kepada kami," katanya.
"Semua ini dikerjakan orang China. Warga masyarakat sekitar sini sama sekali tidak mengerti apa-apa," ujar Graham.
Di Vanuatu sebenarnya terdapat banyak resor dan turis asing yang menjadi andalan perekonomian negara itu. Vanuatu terdiri dari 80-an pulau di Pasifik Selatan, di sebelah timur Townsville, dan sebelah barat Fiji.
Posisi ini membuatnya menarik bagi turis yang menginginkan pantai tenang dan belum terjamah serta kegiatan penyelaman.
Skala pembangunan Rainbow City belum pernah terjadi sebelumnya di Vanuatu, serta bertepatan pula dengan meningkatnya pengaruh China di wilayah itu.
"Tidak pernah ada yang sebesar ini. Saya seorang ni-Vanuatu dan belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya," kata Graham.
Ibunya, Gabriel Toara, menyebutkan bahwa orang China telah membeli banyak tanah warga di sekitar desanya. "Mereka juga coba membeli di sini, tetapi anakku menolak. Dia mendatangi mereka dan menghentikannya," kata Gabriel.
"Kami khawatir mengapa orang China datang ke sini, membangun rumah dan membeli semua tempat di Vanuatu. Kami tidak paham mengapa mereka membeli Vanuatu," katanya.
Vanuatu jadi incaran
Kegelisahan warga setempat dengan kegiatan pembangunan yang didukung China di Pasifik bukanlah hal baru. Tapi skalanya kini semakin meningkat, di tengah persaingan negara-negara besar atas kawasan ini.
Dengan wilayah lautan dan Zona Ekonomi Eksklusif yang luas, negara-negara kepulauan di Pasifik pun masuk ke dalam radar China dan Amerika Serikat, serta sekutu-sekutu mereka.
Tahun lalu, para pejabat AS dan Australia menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai kemungkinan hadirnya pangkalan militer China di Vanuatu. Pembangunan Pelabuhan Luganville yang didanai China di sana tidak meredakan kekhawatiran tersebut.
Menurut data lembaga pemikir Lowy Institute, Vanuatu kini menjadi salah satu penerima terbesar bantuan China di Pasifik. China menyumbang hampir dua kali lipat ke Vanuatu dibandingkan Australia. Nilainya sekitar 145 juta dolar Austraia, dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak.
Uang itu digunakan untuk pembangunan Pelabuhan Luganville dan proyek-proyek kecil seperti kantor Perdana Menteri, Presiden, dan Kemenlu. Namun, Australia masih menjadi kontributor bantuan nasional tunggal terbesar ke Pasifik, yaitu senilai 1,2 miliar dolar untuk seluruh kawasan itu.
Selandia Baru dan Jepang pun masih unggul dari China terkait dengan komitmen bantuannya.
Pekerja lokal dibayar murah
Penduduk di negara-negara pasifik yang kini menjadi incaran pengaruh negara-negara besar, tak dapat mengelak dari rasa prihatin dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pembangunan seperti Rainbow City memang menjanjikan lapangan kerja dan pelatihan. Tapi penduduk setempat menceritakan kisah berbeda.
Seperti diungkapkan John Bakoa yang tinggal di dekat Rainbow City dan pernah bekerja di sana.
"Mereka tidak membayar kami dengan baik," katanya. "Mereka hanya membayar 130 vatu perjam."
Jumlah tersebut kira-kira setara dengan 1,70 dolar atau sekitar Rp 17 ribu, jauh di bawah ketentuan UMR di Vanuatu.
Namun Cheng membantah hal ini. Menurut dia, pekerja penuh waktu mendapatkan gaji tinggi melebihi UMR. Namun tidak jelas apakah itu berlaku untuk pekerja lepas.
Warga setempat juga khawatir karena para pekerja asal China menolak membeli buah dan sayuran dari mereka, jika harganya tidak dibuat semurah mungkin.
Bakoa mengakui proyek tersebut berpotensi mendatangkan investasi dan infrastruktur di sana.
"Orang China datang dengan membawa banyak uang," katanya, tapi dia sendiri tidak melihat bagaimana uang tersebut membantu warga sekitarnya.
"Kondisi kerjanya tidak bagus, mereka sangat menekan kita namun imbalan yang kita terima sangat kecil," katanya.
Warga di sana merasakan perlunya pembangunan, namun pada saat bersamaan juga ingin mempertahankan kendali dan identitas nasionalnya.
Bakoa mengaku resah dengan perubahan yang terjadi di pulaunya itu.
"Saya dengar banyak orang akan terbantu dengan pembangunan. Saya tidak begitu yakin. Sebab ini orang China, mereka punya jalan pikirannya sendiri. Kami tak memahaminya," tutur Bakoa.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.