Jumat 01 Nov 2019 04:55 WIB

Nasib Perdana Menteri Irak Terombang-ambing

Roket meledak di dalam Zona Hijau.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjuk rasa antipemerintah berdemonstrasi di Alun-Alun Tahrir (Tahrir Square) di Baghdad, Irak, Kamis (31/10).
Foto: AP Photo/Hadi Mizban
Pengunjuk rasa antipemerintah berdemonstrasi di Alun-Alun Tahrir (Tahrir Square) di Baghdad, Irak, Kamis (31/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pasukan keamanan Irak membunuh dua orang dengan tembakan gas air mata saat pengunjuk rasa berusaha masuk ke Zona Hijau yang dijaga ketat. Sumber keamanan dan medis mengatakan para korban tewas karena gas air mata mengenai kepala mereka.

Setidaknya ada 175 orang yang terluka sejak masyarakat turun ke jalan untuk mengungkapkan amarah mereka kepada elite politik. Pengunjuk rasa menilai pemerintah sangat korup dan bertanggung jawab atas kesulitan ekonomi yang mereka alami.

Baca Juga

Pada Kamis (30/10), unjuk rasa berubah menjadi kerusuhan saat sekelompok pengunjuk rasa menyerbu Zona Hijau yang dibarikade. Sebuah roket terlihat terbang ke arah Zona Hijau dan ledakan terdengar dari sana.

Zona Hijau adalah kompleks gedung pemerintahan dan misi diplomatik. Militer Irak mengatakan roket itu meledak di dalam zona tersebut dan membunuh anggota pasukan keamanan.

Sejumlah politikus Irak yang paling berpengaruh tampil mendukung Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi. Unjuk rasa yang terjadi selama beberapa pekan terakhir menjadi demonstrasi terbesar sejak Saddam Hussien digulingkan pada 2003.

Sementara itu, nasib Abdul Mahdi belum diketahui. Pengunjuk rasa mengatakan menggulingkan perdana menteri tidak cukup untuk menghentikan unjuk rasa yang telah menewaskan 250 orang ini.

Keluarga kelas menengah dengan anak kecil bergabung dalam apa yang disebut anak muda dari lingkungan kumuh sebagai 'revolusi'.  Mereka menghadapi gas air mata dan barikade.

"Tidak Moqtada (al-Sadr), tidak Hadi (al-Amiri)!" teriak pengunjuk rasa.

Mereka menyinggung ulama populis Moqtada al-Sadr dan ketua milisi Hadi al-Amiri. Pengunjuk rasa mengecam Sadr dan Amiri yang mendukung pemerintahan berkuasa dengan atau tanpa perdana menteri.

Sadr meminta Abdul Mahdi menggelar pemilu dini. Ketika perdana menteri menolak permintaannya, Sadr memanggil Amiri, salah satu rival politik, untuk membantu mengguling pemerintah saat ini.

Amiri sempat mengeluarkan pernyataan yang mengisyaratkan ia menerima panggilan Sadr untuk menggulingkan Abdul Mahdi. Tapi di hari berikutnya ia kembali membuat perdana menteri terombang-ambing.

"Kami akan bekerja sama untuk mengamankan kepentingan rakyat Irak dan menyelamatkan negeri untuk kebaikan publik," kata Amiri dalam pernyataannya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement