Ahad 03 Nov 2019 20:35 WIB

Pemimpin Iran Enggan Cabut Larangan Negosiasi dengan AS

Negosiasi dengan AS dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Joko Sadewo
 Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei
Foto: AP
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan tidak akan mencabut larangan untuk menjalin negosiasi dengan Amerika Serikat (AS). Dia menegaskan tidak akan menyerah pada tekanan Washington.

"Salah satu cara untuk memblokir infiltrasi politik Amerika adalah dengan melarang pembicaraan dengan Amerika. Ini berarti Iran tidak akan menyerah pada tekanan Amerika," ujar Khamenei dalam peringatan 40 tahun penyitaan kedutaan besar AS di Teheran yang terjadi pada masa revolusi Iran tahun 1979, Ahad (3/11).

Menurutnya, melakukan perundingan dengan AS tidak akan menyelesaikan masalah antara kedua negara. "Mereka yang percaya bahwa negosiasi dengan musuh akan menyelesaikan masalah kita adalah 100 persen salah," kata dia.

Khamenei berpendapat perilaku AS tak pernah berubah selama beberapa dekade terakhir. "AS terus melakukan perilaku agresif, kejam, dan kediktatoran internasional yang sama. Iran memiliki keinginan yang kuat. Ia tidak akan membiarkan Amerika kembali ke Iran," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Khamenei pun mengkritik upaya Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk memediasi pembicaraan antara Iran dan AS. "Presiden Prancis, yang mengatakan pertemuan akan mengakhiri semua masalah antara Teheran dan Amerika adalah naif atau terlibat dengan Amerika ," ucapnya.

Macron diketauhui sempat mencoba mengatur pertemuan antara Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden AS Donald Trump di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York pada September lalu. Namun pertemuan itu gagal terlaksana karena Rouhani menolak menemui Trump.

Sejak Mei 2018 hubungan Iran dan AS kembali memanas. Hal itu terjadi setelah Washington memutuskan keluar dari perjanjian nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Washington kemudian menerapkan kembali sanksi ekonomi berlapis terhadap Teheran. Itu merupakan taktik AS agar Iran bersedia merundingkan kembali ketentuan dalam JCPOA, termasuk  mengatur tentang uji coba rudal balistik.

Namun Iran menolak tunduk pada tekanan AS. Sebagai langkah balasan, Iran memutuskan menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA, termasuk melakukan pengayaan uranium melampaui ambang batas yang telah ditetapkan.

Iran dan AS kembali terlibat ketegangan setelah adanya penyerangan terhadap sejumlah kapal tanker di Selat Hormuz pada Mei dan Juni lalu. AS menuding Iran sebagai dalang di balik aksi tersebut. Teheran telah dengan tegas membantah tuduhan itu.

Kedua negara kembali bersitegang saat dua fasilitas minyak Saudi Aramco diserang pada 14 September lalu. Serangan itu dilancarkan dengan mengerahkan 18 pesawat nirawak dan tujuh rudal jelajah. Sebanyak lima persen produksi minyak dunia dilaporkan terpangkas akibat peristiwa tersebut. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia.

Kelompok pemberontak Houthi Yaman sebenarnya mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Namun klaim mereka diragukan Barat mengingat kecanggihan dan daya jangkau serangan.

AS bersama Inggris, Prancis, dan Jerman justru menuding Iran sebagai pihak yang mendalangi serangan ke fasilitas Aramco. Iran kembali membantah dengan tegas dugaan keterlibatannya dalam serangan Aramco. Teheran meminta pihak-pihak yang menuduhnya menyajikan bukti kredibel.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement