Senin 11 Nov 2019 19:02 WIB

Ancam Serang Masjid, Pria Selandia Baru Ditolak Bebas

Seorang ekstremis Selandia Baru mengancam masjid dan membunuh sang PM

Red:
.
.

Seorang ekstremis sayap kanan di Selandia Baru mengalami penolakan pembebasan bersyarat untuk kedua kalinya karena ia diduga mengancam akan menyerang masjid Newcastle dan membunuh Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern.

Polisi menuduh Cormac Patrick Rothsey, 43, berada di belakang ancaman yang dituduhkan itu, melalui postingannya di Facebook pada bulan Agustus tahun ini.

Ia dituduh menggunakan layanan publik untuk mengancam, melecehkan, atau menyinggung -suatu pelanggaran yang memiliki muatan hukuman tiga tahun penjara.

Jaminan yang diajukan Rothsey awalnya ditolak setelah dianggap sebagai risiko yang tak bisa diterima, karena ia tidak memiliki alamat tetap.

Tetapi pada hari Senin (11/11/2019) pengacaranya, Hannah Bruce, mengajukan permohonan kedua dengan dasar ia sekarang beralamatkan di rumah kos, di mana obat-obatan terlarang atau alkohol dilarang.

Namun permohonan pembebasan bersyarat itu ditolak oleh Hakim Pengadilan Tinggi Newcastle, Susan Horan.

Postingan dianggap anti-Islam

Direktur Penuntutan Publik Selandia Baru telah memilih untuk menangani kasus Rothsey, dan masalah ini akan ditangani di Pengadilan Distrik Newcastle.

Dalam menentang pengajuan jaminan Rothsey, jaksa penuntut Anna Payten berpendapat bahwa Rothsey berpeluang menimbulkan risiko yang signifikan bagi masyarakat jika ia dibebaskan.

"Pelanggaran serius itu berlangsung 10 hari dan ketika pertama kali terdeteksi di Facebook, pihak berwenang menemukan konten rasis, kekerasan dan anti-Islam," kata Payten.

"Postingan itu penuh kekerasan dan rasis dan memiliki agenda khusus anti-Islam."

Postingan-postingan itu juga diduga mengancam kehidupan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan juga menyatakan dukungannya terhadap serangan teror di Christchurch.

"Ada penyebutan untuk Perdana Menteri Jacinda Arden dan sebuah postingan yang mengatakan 9 dari 10 orang yang saya temui seperti itu terjadi di negara 'S**l'-nya," kata Payten.

Jaksa mengatakan kepada pengadilan bahwa kalimat itu adalah penyebutan untuk apa yang terjadi di Christchurch awal tahun ini.

Payten mengatakan tak ada ketentuan dari pembebasan bersyarat yang bisa meringankan ancaman apapun yang akan Rothsey timbulkan terhadap masyarakat.

"Ada tingkat pengetahuan yang bergerak melampaui tindakan mengomentari dan mengutuk," katanya.

"Ia mengidentifikasi dengan pasti rencananya dan komunitas yang akan ia serang dan hari ketika ia akan menyerang, pada hari ketika jumlah terbesar orang berkumpul."

"Hari itu adalah hari Jumat, untuk shalat Jumat."

Larangan internet tak bisa membantu

Pengacara pembela, Hannah Bruce, mengatakan kepada Hakim Horan bahwa Rothsey bisa dipantau dan dikelola di tengah masyarakat.

"Ini bisa berhubungan dengan perilaku daring dan mencakup nol alkohol," kata Bruce.

"Juga bahwa ia tak memiliki atau tak menggunakan ponsel dengan cara apapun dan bahwa ia tak mengakses Facebook atau situs media sosial lainnya, atau mengakses internet sama sekali."

"Ini adalah pria yang fokusnya kembali bekerja dan ia bisa melakukan kontak melalui telepon umum dan ia bisa melapor setiap hari ke kantor polisi Newcastle."

Bruce mengatakan kliennya memiliki catatan kriminal kecil dan tak ada bukti bahwa ia bermaksud untuk melakukan ancamannya.

"Tak ada bukti bahwa Rothsey mengambil langkah-langkah aktif sehubungan dengan penyelesaian dari semua dugaan ancaman ini dan tak ada bukti bahwa ia memiliki senjata," katanya.

Ancaman membunuh

Ketika menolak jaminan pembebasan, Hakim Susan Horan mengatakan ia menemukan bahwa "karakter postingan itu paling memprihatinkan."

"Ini terkait dengan postingannya di media sosial, beberapa postingan sentimen anti-Muslim dan postingan yang mencakup ancaman melakukan kerusakan dan ancaman untuk membunuh," kata Horan.

"Ada ancaman terhadap Muslim dan postingan serta komentar tentang Perdana Menteri (Jacinda Ardern) dalam konteks serangan Christchurch," katanya.

"Saya berpandangan bahwa risiko melakukan pelanggaran serius dan membahayakan keselamatan adalah signifikan, khususnya terhadap komunitas Muslim."

"Tuduhan pelanggaran itu termasuk kesediaan untuk menghilangkan nyawanya sendiri demi tujuannya. Risiko terhadap masyarakat terlalu besar dan saya tak siap untuk memberinya pembebasan bersyarat, tak ada kondisi yang bisa mengurangi risiko itu."

Pada saat itu, hakim Horan menoleh ke arah Bruce dan menekankan mengapa menurutnya larangan internet tak akan berhasil.

"Nona Bruce, larangan terkait dengan internet sangat sulit bagi polisi, dan hampir tak mungkin," katanya.

Rothsey melipat tangannya dan tak menunjukkan emosi ketika kasusnya ditunda hingga 11 Desember.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement