REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Unjuk rasa anti-pemerintah yang melumpuhkan kota Hong Kong sudah memasuki hari kelima. Demonstrasi tersebut memaksa sekolah-sekolah ditutup dan beberapa jalan utama ditutup. Mahasiswa membarikade kampus-kampus dan pihak berwenang kesulitan menenangkan situasi.
Di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina situasi tersebut memicu resensi ekonomi di Hong Kong. Dari data pemerintah Hong Kong pada bulan Juli sampai Septemper perekonomian kota itu menyusut 3,2 persen dari kuartal sebelumnya. Produk Domestik Bruto (GDP) juga menyusut dua kali berturut-turut yang menunjukkan tanda-tanda resesi.
Para pakar memperingatkan dengan tidak adanya tanda-tanda unjuk rasa akan berakhir, perekonomian dan perdagangan kota itu berpotensi menghadapi penurunan yang lebih dalam dan panjang dibandingkan krisis keuangan global pada 2008 dan epidemi SARS 2003. Satu tahun sebelumnya perekonomian berkontraksi sebesar 2,9 persen sesuai dengan pembacaan sebelumnya menjadi pembacaan paling lemah sejak krisis global.
"Permintaan domestik memburuk secara signifikan di kuartal ketiga, karena insiden-insiden sosial mengambil korban besar dalam aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi dan menurunnya prospek ekonomi yang membebani sentimen konsumsi dan sentimen investasi," kata pemerintah dalam pernyataannya, Jumat (15/11).
Demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong
Pusat keuangan dan perdagangan Asia itu sudah tertekan oleh perang dagang AS dan Cina yang tak kunjung selesai. Unjuk rasa yang kerap berakhir dengan kekerasan telah membuat perekonomian mereka semakin memburuk.
"Kami berasumsi unjuk rasa yang disertai kekerasan akan terus terjadi sepanjang 2020 kecuali pemerintah Hong Kong melakukan sesuatu yang benar-benar istimewa (dalam mengakhiri konflik) yang mana tampaknya akan dihindari," kata ekonomi Iris Pang.
Pang sudah memprediksi perekonomian Hong Kong turun 2,2 persen pada 2019 dan 5,3 persen pada 2020. Pengunjuk rasa kerap mengganggu transportasi dan bentrok dengan polisi. Pihak keamanan Hong Kong sering menanggapi unjuk rasa dengan gas air mata.
Gejolak tersebut juga menjadi tantangan terberat bagi Presiden Cina Xi Jinping sejak ia mulai berkuasa pada 2012. Tapi, Kepala Dewan Alibaba Daniel Zhang mengatakan Hong Kong memiliki masa depan yang 'cerah'. Perusahaan e-commerce itu mulai mendaftarkan saham kedua di bursa efek kota itu.
Sementara itu, Komisi Peninjauan Ekonomi AS-Cina mengatakan Kongres AS harus memberlakukan undang-undang yang menangguhkan status Hong Kong sebagai wilayah ekonomi khusus. Hal itu jika Cina mengerahkan pasukan untuk mengatasi kerusuhan di daerah otonomi khusus itu.