Senin 18 Nov 2019 11:06 WIB

Wanita Berjilbab Paling Sering Alami Islamofobia

Serangan verbal terhadap wanita berjilbab di Australia terus terjadi

Red:
.
.

Wanita berjilbab di tempat keramaian seperti mal dan pusat perbelanjaan paling sering mengalami serangan berbau Islamofobia di Australia. Adanya anak-anak bersama mereka ternyata tak menghentikan tindak pelecehan dan dalam beberapa kasus malah meningkatkannya.

Salah satu korban bernama Nadia Saeed mengaku pernah mengalami pelecehan verbal di Brisbane justru saat dirinya sedang mengorganisasi acara untuk menghormati para korban serangan teror Christchurch.

"Saya tak peduli kalau sesamamu (umat Islam) terbunuh di Christchurch. Kamu pun seharusnya ditembak saja," kata Nadia, mengutip ucapan seorang pria yang mendekatinya di jalan.

Wanita berusia 21 tahun ini mengaku tak tahu harus berbuat apa pada saat itu. "Saya gemetaran," ujarnya kepada ABC News.

Nadia menduga apa yang dialaminya ini erat kaitannya dengan jilbab yang dia kenakan-penanda fisik bahwa dia seorang Muslim.

Apa yang dialami Nadia ini sejalan dengan hasil penelitian tentang Islamofobia dari Charles Sturt University (CSU), yang menyebutkan bahwa wanita berjilbab paling berisiko mengalami pelecehan.

Riset ini menganalisis ratusan laporan insiden Islamofobia di Australia. Dari ratusan kejadian, hanya dalam 10 kasus ada orang yang menghentikan pelecehan dan membantu korban.

Salah satunya, dilakukan anggota DPR negara bagian Queensland, Duncan Pegg, yang kebetulan menyaksikan apa yang dialami Nadia.

 

Pegg saat itu mendekati pelaku dan mengancam akan memanggil polisi jika orang itu tidak pergi dari sana.

"Dia sangat agresif dan marah," ujar politisi dari partai buruh ini. "Saya sendiri sangat terpukul, apalagi yang mengalaminya langsung."

"Artinya, ini bisa terjadi di mana saja. Kejadiannya itu tengah hari di depan toko penjual daging ayam halal," ujar Duncan Pegg.

70 Persen Wanita Berjilbab

Nadia melaporkan apa yang dialaminya itu ke lembaga yang mencatat kejadian Islamofobia.

Data dari lembaga tersebut yang kemudian diteliti oleh tim dari Centre for Islamic Studies and Civilisation pada CSU.

 

Laporan riset yang dirilis hari Senin (18/11/2019) ini menganalisis 349 insiden yang dilaporkan antara 2016 dan 2017.

Ditemukan mayoritas pelaku adalah kaum pria. Sedangkan, korbannya 70 persen adalah wanita yang hampir semuanya mengenakan jilbab atau penutup kepala lainnya.

Sebanyak 41 persen dari laporan yang masuk dibuat oleh saksi, bukan oleh korban.

"Hal ini menunjukkan mayoritas orang di lokasi kejadian tidak mengabaikan apa yang terjadi, hanya mereka tak melakukan intervensi," kata laporan itu.

"Mungkin karena mereka tidak tahu bagaimana melakukannya tanpa membahayakan diri sendiri," katanya.

Dalam salah satu kejadian, seorang saksi melihat pelaku sengaja menyenggol wanita berjilbab yang sedang jalan kaki bersama anak balitanya.

"Korban tidak terjatuh tapi dia terlihat sangat ketakutan. Dan tak seorang pun yang berbuat apa-apa," kata saksi itu.

"Saya ingin bereaksi, tapi urung saya lakukan karena pelaku badannya dua kali lebih tinggi. Wanita itu sendiri masih aman. Jadi, saya pergi saja," ujarnya.

Saksi ini kemudian melaporkan apa yang dilihatnya ke lembaga pencatatan Islamofobia.

Laporan dari CSU ini merupakan riset kedua yang dilakukan sejak lembaga pencatatan Islamofobia dimulai 2014.

Penulis laporan riset Dr Derya Iner mengaku khawatir karena serangan yang menyebabkan korbannya masuk RS justru meningkat dari 2 persen menjadi 5 persen.

 

Dicontohkan salah satu kejadian, seorang ibu dan anaknya sedang menyeberang ketika sengaja ditabrak orang. Pelaku memundurkan mobilnya dan kembali menabrak korban di saat ibu itu berusaha melindungi anaknya. Korban terguling ke kap mobil lalu terjatuh ke jalan.

Pusat Keramaian

Laporan ini menyebutkan, serangan Islamofobia di Australia jumlahnya relatif sama, tapi lokasinya mengalami perubahan.

Disebutkan, pelaku kini semakin berani melakukan pelecehan di tempat umum yang dijaga petugas keamanan dan dilengkapi kamera CCTV. Jumlahnya naik 30 persen.

"Kehadiran penjaga keamanan dan kamera di pusat-pusat perbelanjaan tidak efektif mencegah pelaku. Begitu pula kehadiran orang ramai," kata laporan itu.

Tempat kedua yang paling sering terjadi serangan Islamofobia adalah di sekolah dan universitas.

Laporan ini menyebutkan penghinaan rasis dialami korban dari siswa lain, guru, pelatih olahraga, bahkan kepala sekolah.

Selain itu, disebutkan bahwa kehadiran anak kecil ternyata tidak menghalangi terjadinya perbuatan Islamofobia.

Dalam beberapa kasus, kehadiran anak-anak ini justru meningkatkan kebencian pelaku.

Hal itu dialami Syed Shah bersama anak-anaknya saat naik kereta api di Brisbane.

 

Menurut Shah, pelaku mencoba menarik salah satu anaknya dan mengancam akan membuangnya dari atas kereta.

"Lalu dia mendatangi anak-anakku (berusia lima dan 10 tahun) dan dia bilang ingin membunuh mereka," katanya.

Shah mengaku tak berdaya menghadapi pelaku melakukan penghinaan pada keluarganya saat itu.

Keluarga Generasi Keempat

Keluarga Alma Mohammed yang merupakan generasi keempat petani tebu di Kota Gordonvale, Queensland Utara, telah mengalami kejadian beberapa kali.

Meski keluarganya telah tinggal di Australia lebih dari 100 tahun, hal itu tidak melindungi mereka dari penghinaan rasialis, menyuruhnya "pulang ke tempat asalmu".

Insiden terbaru masih dialami Alma seusai menghadiri salah satu acara bersama anak-anaknya.

 

"Saya muak dengan kalian. Mengapa kalian tidak pergi dari sini, pulang ke tempat asalmu," kata pelaku, seperti disampaikan Alma kepada ABC.

"Saya coba mempertahankan diri, menggendong bayiku di depan dan menarik putriku yang lain ke belakang saya," katanya.

"Dia terus melakukannya, memutar-mutar lengannya, dengan botol di tangannya," jelas Alma.

Keluarganya merupakan satu-satunya keluarga Muslim di kota kecil Gordonvale itu.

"Sebenarnya pakaian saya biasa saja, tapi saya memakai jilbab. Saya yakin dia menyerang saya karena hal itu," katanya.

Laporan CSU menyebutkan volume kejadian pada umumnya sebanding dengan jumlah populasi Muslim di setiap negara bagian, kecuali di Queensland.

Queensland menempati urutan ketiga yang paling sering terjadi serangan Islamofobia, padahal populasi Muslimnya di urutan kelima.

Pelecehan juga lebih umum terjadi di daerah pinggiran kota yang lebih beragam daripada di daerah non-multikultural.

Menurut Dr Derya Iner, Islamofobia merupakan akibat dari retorika politik anti-Islam dan liputan media tentang terorisme.

Dia memperingatkan banyaknya insiden yang sebenarnya tidak dilaporkan dan 349 kasus yang dianalisis hanyalah puncak gunung es.

"Kita harus terus memelihara dan memperbaiki kohesi sosial untuk kesejahteraan dan keamanan Australia," katanya.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement