Senin 18 Nov 2019 13:37 WIB

Pengadilan Hong Kong Cabut Larangan Masker

Larangan masker dinilai tidak sesuai dengan konstitusi Hong Kong.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Demonstran mengenakan kacamata pelindung dan masker berjalan menuju Dewan legislatif untuk melanjutkan protes menentang RUU ekstradisi di Hong Kong.
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Demonstran mengenakan kacamata pelindung dan masker berjalan menuju Dewan legislatif untuk melanjutkan protes menentang RUU ekstradisi di Hong Kong.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pengadilan Tinggi Hong Kong memutuskan membatalkan Undang-Undang (UU) pelarangan masker, Senin (18/11). UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan konstitusi Hong Kong.

Hakim Anderson Chow Ka-ming dan Godfrey Lam Wan-ho memutuskan mendukung 25 anggota Partai Demokrat yang menentang dua undang-undang era kolonial itu kembali ketika protes terjadi di Hong Kong. Pembatalan itu berlaku untuk menurunkan Ordonansi Peraturan Darurat era kolonial dan turunannya, termasuk Larangan Mengenai Penutup Wajah.

Baca Juga

Sejak 5 Oktober, pemerintah Hong Kong merilis kembali UU tersebut dengan alasan bahaya publik. Penerapan ini dalam upaya memadamkan gelombang protes yang dipicu oleh RUU ekstradisi yang sekarang ditarik.

Dalam putusan setebal 106 halaman yang dijatuhkan pada Senin sore, hakim pun menemukan tindakan yang memberi peluang bagi polisi untuk meminta seseorang melepas maskernya di tempat-tempat umum. "Praktis tidak ada batasan pada keadaan di mana kekuasaan di bawah bagian itu dapat dilakukan oleh seorang petugas polisi," tulis para hakim dikutip dari South China Morning Post.

Hakim pun mempertanyakan secara terbuka apakah peraturan itu konstitusional ketika digunakan pada saat darurat. Mereka akan mendengar pengajuan lebih lanjut pada Rabu pagi untuk memutuskan bantuan dan biaya yang sesuai untuk tantangan hukum.

Pembatalan ini terjadi atas permohonan dari mantan anggota parlemen Leung Kwok-hung. Dia mengatakan merasa sangat sedih atas penerapan tersebut dan menuduh Kepala Eksekutif Carrie Lam menyalahgunakan kekuasaan untuk menyulut konflik yang sedang berlangsung dengan diperkenalkannya larangan tersebut.

"Saya tidak akan berkomentar apakah saya telah mengklaim kemenangan atau pemerintah telah kalah," kata Leung kepada wartawan di luar pengadilan.

Pengacara untuk 24 anggota parlemen partai Demokrasi dan Leung mengatakan, peraturan itu tidak konsisten dengan mini-konstitusi kota, Undang-Undang Dasar. Sebab, UU itu telah memberikan kepala eksekutif kebebasan dan tanpa batas dalam menggunakan kekuatan untuk memotong legislatif dalam membuat hukum.

Mereka juga berargumen peraturan tersebut terlalu jauh karena mencakup berbagai perilaku damai yang tidak terkait dengan ketertiban umum. UU itu pun memberlakukan pembatasan yang tidak proporsional pada kebebasan mendasar.

Namun, pemerintah menyatakan penerapan UU yang digugat berguna dan tidak memberikan kebebasan tanpa batas. Peraturan tersebut dinilai telah berkali-kali memberi manfaat.

Menurut statistik polisi yang dirilis pada 13 November, lebih dari 4.000 orang telah ditangkap sejak protes massal pecah pada Juni. Dari total penangkapan yang terjadi, anak muda yang terlibat mencapai 39,3 persen.

Peraturan yang telah dibatalkan itu  melarang siapa pun untuk mengenakan penutup wajah selama pertemuan umum. Bagi yang melanggar akan dihukum dengan satu tahun penjara dan denda 25 ribu dolar HK.

Penerapan UU kolonial ini pun memberi petugas polisi kekuatan untuk meminta seseorang melepas topengnya di tempat-tempat umum. Mereka yang tidak mematuhi akan dilepas paksa topengnya oleh petugas dan hukuman penjara maksimal enam bulan dan denda 10 ribu dolar HK.

Hingga 7 November, polisi telah menangkap 247 pria dan 120 wanita dengan tuduhan melanggar peraturan tersebut. Dari mereka, 24 telah dibawa ke pengadilan dan kasus mereka masih berlangsung.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement