Jumlah orang yang mengaku tidak beragama di Australia mengalami peningkatan, menurut survei yang dilakukan oleh Sensus Populasi dan Perumahan ABS di Australia pada tahun 2016.
Hal ini menimbulkan kesulitan bagi warga Australia yang mengaku beragama dan berharap untuk menemukan pasangan yang agamanya sama dengan mereka. Bagi Desta Puspa Pertiwi dan Victor Alfonso, dua warga Indonesia di Melbourne, Australia, agama masih menjadi faktor penting dalam pencarian pasangan hidup.
Di usia relatif siap menikah, kedua narasumber tersebut masih berstatus lajang meski sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan orang beragama sama.
"Menurut saya pribadi agama itu penting karena hidup kita tidak hanya mencari dunia tapi juga mencari surga." kata Desta, mahasiswi berusia 26 tahun yang beragama Islam dan mengatakan tinggal di lingkungan keluarga agamis.
Perempuan ini mengatakan dirinya memiliki tipe kepribadian ekstrovert yang artinya senang berada di antara banyak orang. Dalam bergaul, Desta mengatakan bahwa dirinya tidak pilih-pilih teman.
"Dalam berteman, menjalin relasi dengan orang saya tidak melihat darimana dia berasal, dalam arti saya berteman dengan siapa saja. Maksudnya mau Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, lain kebangsaan, saya berteman dengan siapa saja."
Namun, ia memiliki kriteria tersendiri kalau sudah bicara soal pasangan hidup. "Tapi kalau tentang hubungan percintaan atau pasangan, saya punya rem tersendiri. Salah satunya adalah [calon pasangan saya harus] orang yang berbagi kepercayaan dengan saya, [yaitu] sama-sama Muslim."
Ia mengatakan berharap untuk dapat memiliki pasangan yang tidak hanya beragama Islam di KTP saja, tapi juga menjalankan syariat-syariat Islam.
"Ya, saya tidak terlalu agamis sebenarnya orangnya, walaupun menggunakan hijab sebagai simbol, ya. Tapi saya juga mau punya pasangan yang paling sederhananya salat lima waktu."
Tekanan dari sekitar
Di antara keempat teman masa kecilnya, Desta menjadi satu-satunya yang belum berpasangan dan menikah.
"Saya punya teman SMA. Kita berlima dan hanya saya yang belum menikah dan juga satu-satunya yang merantau sampai sejauh ini," katanya tentang teman-temannya yang tinggal di provinsi Lampung, Indonesia.
"Saya sempat merasa 'Aduh, saya belum punya pasangan, teman-teman saya sudah punya anak atau bayi, dan keluarga baru.' Ada perasaan begitu."
Awalnya, Desta mengakui adanya perasaan insecure yang mengikutinya setiap kali memikirkan tentang pasangan hidup. Namun, ia menyadari satu hal. "Yang saya rasakan setiap orang memiliki waktunya masing-masing," katanya dengan percaya diri.
"Ada sekali perasaan insecure, tapi kemudian saya berpikir, 'Oh, ini bukan waktunya banget untuk memikirkan pasangan. Ya sudah deh, mungkin teman-teman saya yang rezekinya punya anak, dan segala macam.'"
Desta yang sudah tiga kali berpacaran sejak bangku SMA mengatakan telah belajar banyak dari waktunya sebagai seorang berstatus lajang.
"Mungkin Tuhan mau agar saya belajar dari teman-teman atau keluarga-keluarga muda yang saya temukan di sekitar saya," kata Desta yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan S2 di Monash University di Melbourne.
"Karena [dari pertemuan itu] saya jadi tahu bagaimana mengurus anak, mengobrol bersama suami nanti [di masa depan], juga hal-hal [dari suami atau keluarga] yang harus dikompromikan."
"Misalkan nanti saya mau memulai hubungan, hal-hal itu adalah sesuatu yang saya pegang."
Agama bukan satu-satunya kriteria
Di usianya yang ke-38, Victor dikelilingi oleh teman-teman seumurannya yang sudah berkeluarga. Namun, sebagai pria berstatus lajang, ia mengatakan tidak terpengaruh dengan tekanan yang menurutnya memang tidak terhindarkan tersebut.
"Kehidupan berumah tangga bukan tujuan akhir dari kehidupan," kata pria yang saat ini bekerja di sebuah restoran di Melbourne.
"Melihat teman-teman yang sudah menikah tapi tidak punya kehidupan keluarga yang baik, saya berpikir lebih baik sekarang [saya] masih sendiri daripada punya pasangan tapi [kondisinya] begitu."
Ketika diwawancara oleh Natasya Salim dari ABC Indonesia melalui telepon, Victor mengatakan ia juga ingin memiliki pasangan yang menganut kepercayaan yang sama dengannya yaitu Kristen.
Meski agama menjadi faktor penting dalam memilih pasangan, laki-laki asal Manado ini mengatakan bahwa faktor itu bukanlah segalanya. "Agama itu bukan satu-satunya syarat, tapi salah satu. Walaupun mungkin itu yang utama."
Victor sudah pernah menjalin dua hubungan serius dengan perempuan seagama namun tidak berakhir ke pernikahan. Ini karena ia masih menemukan sebuah kriteria yang tidak dapat dipenuhi oleh kedua mantannya tersebut.
"Sensitivitas mantan saya kurang ke keluarga saya," katanya.
"Menurut saya keluarga itu penting. [Pasangan saya] harus peduli bukan sama saya saja tapi juga kepada keluarga saya."
"Harus punya pendirian"
Di luar kriteria agama, Desta Pertiwi juga memiliki hal lain yang menurutnya penting untuk dimiliki pasangannya, yaitu untuk tidak minum alkohol.
"Jadi memang dari dulu, dari zaman saya masih S1, bahkan sampai sekarang S2 saya sempat dekat dengan beberapa orang yang bisa dibilang prospektif untuk jadi pasangan hidup," kata dia.
"Tapi waktu sudah dekat dan jalan bareng, ternyata, mohon maaf, dia minum."
Di titik itulah perempuan yang mengatakan tidak pernah minum alkohol walau dikelilingi teman-teman yang melakukannya tersebut menghentikan hubungan mereka.
"Kalau buat sekadar teman, entah dia mau minum, atau ibaratnya ke diskotik, bukan urusan saya. Tapi kalau hanya sebagai teman."
Menurut Desta, kriteria yang ia tetapkan untuk calon pasangannya tidak terlalu ketat.
Perempuan yang menempuh pendidikan S1 di Semarang ini mengatakan bahwa pendirian juga merupakan satu hal penting yang harus dimiliki seseorang dalam perjalanan mencari pasangan hidup.
"Kalau tidak mau diinjak-injak, Anda harus punya prinsip atau pandangan karena itu yang membuat [Anda] kokoh dan jadi pohon, bukan ilalang yang kena angin," katanya.
"Saya pernah dengar dari teman, jangan pernah mau mendiskon diri sendiri."
"Jangan berpikir 'Ih, sampai umur saya sekarang belum punya pacar, ya sudahlah saya pacaran dengan orang yang, misalnya, posesif saja tidak apa-apa.'"
Belajar dari pengalamannya menjalin hubungan, Desta mengatakan bahwa hubungan yang berhasil membutuhkan visi dan frekuensi yang sama dari kedua belah pihak.
"Bukan masalah kalau punya ketertarikan atau hobi yang berbeda, tapi harus punya visi dan frekuensi yang sama," kata perempuan yang menyukai kegiatan travelling itu.
"Karena menurut saya cinta saja tidak cukup. Kita harus ada satu komitmen besar, tujuan yang mau kita raih bersama dan satu rumah yang mau kita bangun bersama."
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia