REPUBLIKA.CO.ID, BOUNGAINVILLE -- Hasil referendum menyatakan Bougainville memilih merdeka dari Papua Nugini. Hal itu menjadi langkah pertama pulau di Selatan Pasifik itu untuk menjadi negara yang paling baru di dunia.
Ketua Komisi Referendum Boungainville Bertie Ahern bergembira ketika ia mengumumkan hasil referendum di sebuah aula publik di provinsi otonomi tersebut pada Rabu (11/12). Namun, hasil referendum tidak mengikat.
Kemerdekaan harus dinegosiasikan antara pemimpin Bougainville dan Papua Nugini. Hasil akhirnya akan diumumkan anggota parlemen Papua Nugini. Dari 181 ribu suara yang dikumpulkan selama dua pekan, sekitar 85 persen memilih merdeka dari Papua Nugini.
Referendum adalah unsur utama dalam kesepakatan damai pada 2001 yang mengakhiri perang sipil di Boungainville. Konflik di pulau sebelah timur Papua Nugini itu menewaskan sekitar 15 ribu orang.
Kekerasan di Boungainville dimulai pada akhir tahun 1980-an. Dipicu oleh konflik tambang tembaga di Panguna. Tembaga sempat menjadi menjadi ekspor terbesar bagi Papua Nugini. Namun, rakyat Boungainville merasa tidak mendapat manfaat dari penambangan di daerah mereka. Penambangan itu hanya merusak lingkungan dan mengganggu cara hidup tradisional mereka.
Sejak konflik pecah penambangan tersebut sudah ditutup. Beberapa orang yakin penambangan itu dapat menjadi sumber pendapatan bagi Bougainville ketika wilayah itu merdeka. Proses pemisahan membutuhkan waktu bertahun-tahun.