Sabtu 23 Nov 2019 20:00 WIB

Bougainville Gelar Referendum Kemerdekaan dari Papua Nugini

Pulau Bougainville menggelar referendum kemerdekaan dari Papua Nugini

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Papua Nugini
Foto: Aljazirah
Papua Nugini

REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Pulau Bougainville menggelar referendum kemerdekaan dari Papua Nugini pada Sabtu (23/11). Pemungutan suara disambut antusiasme warga.

Sekitar 217 ribu warga Bougainville menunggu di tempat pemungutan suara (TPS) di daerahnya masing-masing. Sebagian dari mereka bernyanyi dalam kelompok paduan suara dan mengibarkan bendera kemerdekaan.

Baca Juga

"Saya sangat senang. Saya akan bersukacita dan grup musik bambu harus bermain. Saya akan menari dan pergi untuk memberikan suara," kata Olitha Mokela (54 tahun) dikutip laman Aljazirah.

Dalam pemungutan suara tersebut, warga Bougainville akan memilih dan memutuskan apakah kepulauan tersebut akan melepaskan diri dan membentuk negara atau memperoleh otonomi yang lebih besar dari Papua Nugini.

Raymond, seorang pemimpin pemuda dari daerah Arawa, mengatakan di benak masyarakat Bougainville, mereka telah lama terputus dengan Papua Nugini. "(Referendum) ini adalah sesuatu yang kami inginkan dan terima untuk waktu yang lama," katanya dikutip laman the Guardian.

Dia mengatakan para tetua di Bougainville kerap menceritakan tentang masa-masa di mana kepulauan itu berkembang secara ekonomi karena memiliki kekayaan sumber daya alam. "Tapi kita para pemuda tidak pernah tahu kehidupan itu. Ini adalah realitas kita, ini adalah kesulitan kita. Kami berharap bahwa pemungutan suara ini akan membawa kita kembali ke masa-masa indah itu," ujar Raymond.

Bougainville dan Papua Nugini terlibat dalam perang saudara pada 1988-1998. Pemicunya adalah perebutan pendapatan dari hasil tambang tembaga Panguna yang sekarang tertutup. Tambang tersebut diperkirakan masih memiliki lebih dari lima juta ton tembaga dan ratusan ton emas.

Konfrontasi akibat perebutan penghasilan dari tambang itu menyebabkan setidaknya 20 ribu warga Bougainville tewas. Pada 2001, kedua belah pinak menandatangani perjanjian damai.

Dalam perjanjian tersebut tercantum pula tentang referendum. Jika Bougainville suatu saat mengadakan referendum, hasilnya harus diterima dan diratifikasi oleh pemerintah nasional.

Dalam kunjungan resmi ke Bougainville pada September lalu, Perdana Menteri Papua Nugini James Marape berjanji bahwa pemerintahannya akan memberikan dukungan penuh untuk proses penyelenggaraan referendum. Para pemimpin dari kedua belah pihak harus memastikan adanya keamanan dan keselamatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement