REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mengikuti dengan seksama proses public hearing yang tengah berjalan atas kasus Rohingya. Indonesia juga telah mengirim utusan untuk memantau jalannya sidang Pengadilan Internasional atau International Court Justice (ICJ).
"Intinya kita mengikuti dengan cermat proses public hearing yang tengah berjalan dan mengirim wakil kita ke Den Haag memantau jalannya public hearing," ujar Plt Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Teuku Faizasyah di Ruang Palapa Kemenlu, Jakarta, Kamis (12/12).
Menurut Faiza, proses persidangan masih berjalan dan Indonesia tetap pada komitmen dalam menanggapi kasus Rohingya. Pemerintah Indonesia bersama ASEAN terus mengupayakan berbagai tindakan untuk banyak berbuat dalam proses repatriasi bagi para pengungsi asal Rakhine State yang saat ini berada di Bangladesh.
"Itu yang kami lakukan. Kita mengikuti proses di ICJ, terus melakukan kontribusinya untuk mempersiapkan repatriasi para pengungsi dari Bangladesh," kata Faiza. Pemerintah Indonesia pun memosisikan siap menjadi jembatan dalam proes pendekatan termasuk dengan PBB.
"Kita tentunya siap menjadi jembatan dalam proses pendekatan termasuk dengan PBB," ujarnya.
Gambia yang mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membawa kasus dugaan genosida terhadap etnis Rohingya ke ICJ. Gugatan diajukan pada awal November lalu. Gambia meyakini Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida. Kedua negara merupakan pihak dari konvensi tersebut.
Indonesia yang juga merupakan anggota OKI sering kali mengikuti proses pembahasan soal kasus ini. Dalam pembahasan tersebut, Indonesia menyampaikan apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia, baik secara bilateral maupun dalam konteks kerja sama ASEAN.
"Sementara, ICJ adalah proses yang terpisah yang memang diinisiasi oleh Gambia sebagai salah satu anggota OKI," ujar Faiza.
Indonesia berupaya agar proses repatriasi bagi para pengungsi dapat berjalan dengan baik, aman, sukarela, dan bemartabat. "Proses itu yang selalu kita kawal dan komunikasikan dalam mekanisme ASEAN," tukas Faiza.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine State dan mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pun mengikuti sidang perdana dugaan genosida terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Sidang tersebut digelar setelah Myanmar digugat Gambia atas dugaan genosida terhadap Rohingya ke Pengadilan Internasional (ICJ). Seorang hakim Afrika Selatan berpengalaman, Navanethem Pillay, dan mantan komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia Claus Kress, telah ditunjuk sebagai hakim ad hoc.