REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Tim pengacara Gambia mengatakan Myanmar tidak menyangkal sebagian besar tudingan terkait kejahatan yang dilakukan pasukan militernya terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017. Gambia pun mengecam pembelaan yang dilakukan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi di Pengadilan Internasional (ICJ).
Anggota tim pengacara Gambia Paul Reicher mengungkapkan tidak ada kesimpulan yang masuk akal untuk menarik dugaan niat genosida dari pola perilaku negara. "Kami tidak mendengar apa pun tentang kekerasan seksual dari Myanmar kemarin, tidak ada sepatah kata pun tentang hal itu," ujar Reicher dalam persidangan hari ketiga di ICJ di Den Haag, Belanda, Kamis (12/12).
Menurut dia, bungkamnya Myanmar menjadi bukti bahwa kekerasan termasuk pemerkosaan memang terjadi. "Itu tidak bisa dipungkiri dan tak terkatakan. Mereka (Myanmar) memilih untuk mengabaikan sepenuhnya. Saya tidak bisa menyalahkan mereka. Saya benci menjadi satu-satunya orang yang membelanya," kata Reicher di hadapan 17 panel hakim.
Dia menilai dalam persidangan yang berlangsung selama tiga hari Myanmar tak berupaya menyangkal sebagian besar tudingan bahwa militernya melakukan kekerasan dan kejahatan terhadap Rohingya. Reicher pun meragukan pernyataan Myanmar bahwa mereka bersama pihak militer akan menuntut semua prajurit yang terlibat dalam tindakan tersebut.
"Bagaimana mungkin ada orang yang berharap bahwa Tatmadaw (nama resmi militer Myanmar) bertanggung jawab atas tindakan genosida terhadap Rohingya, ketika enam jenderal utamanya, termasuk Panglima Tertinggi Jenderal Senior Min Aung Hlaing, semuanya dituduh melakukan genosida oleh misi pencari fakta PBB dan direkomendasikan untuk penuntutan pidana," kata Reicher.
Dalam persidangan pada Rabu (11/12), Aung San Suu Kyi berupaya keras untuk membela negaranya dari tuduhan genosida. Dia mengatakan apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017 merupakan respons kontraterorisme.
Saat itu kelompok milisi bersenjata Rohingya, yang dikenal dengan nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang puluhan kantor polisi di Rakhine. Militer kemudian menanggapi dengan mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut guna memburu dan menangkap anggota ARSA.
Suu Kyi tak menampik bahwa kekuatan berlebih memang digunakan militer negaranya. "Tragisnya konflik bersenjata ini menyebabkan eksodus beberapa ratus ribu Muslim," ujarnya dalam persidangan.
Suu Kyi menegaskan bahwa negaranya secara aktif menginvestigasi, menuntut, dan menghukum tentara serta perwira yang diduga melakukan kesalahan. Dia pun berpendapat ICJ tak memiliki yurisdiksi atas Myanmar.
Menurutnya, jika memang ada pelanggaran hukum kemanusiaan selama konflik internal berlangsung, hal itu tak mencapai level genosida. Oleh karenanya hal itu tak tercakup dalam Konvensi Genosida tahun 1948.
Suu Kyi juga berpendapat bahwa Gambia telah melukiskan gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan terkait apa yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017. Masih banyak informasi keliru dan tak tepat yang disampaikan di pengadilan.
ICJ belum menetapkan tanggal untuk keputusan tindakan sementara. Namun sebuah keputusan bisa diterbitkan pada Januari 2020. Keputusan tersebut mengikat dan tidak tunduk pada banding. Namun negara terkait terkadang mengabaikan dan gagal sepenuhnya mematuhi putusan ICJ.
Setelah keputusan tentang tindakan sementara, proses dapat berlanjut ke kasus penuh. Pada tahapan ini, proses dapat berlangsung atau memakan waktu bertahun-tahun.
Gambia mengajukan kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ pada awal November lalu. Gugatan terhadap Myanmar diajukan Gambia dengan mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.