Jumat 03 Jan 2020 07:01 WIB

Perjuangan Migran Afrika Hadapi Rasialisme di Mesir

Mesir mulai mengenali dan mengecam kejahatan rasisme.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Bocah Mesir
Foto: AP PHOTO
Bocah Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dua bersaudara, Seham dan Ekhlas Bashir asal Sudan pulang dari sekolah dasar di Kairo ketika sekelompok remaja Mesir berkerumun di sekitar mereka. Anak-anak itu mengejek mereka, menyebut "budak" dan cercaan lainnya.

Kemudian segerombolan orang itu mencoba merobek pakaian Ekhlas. Seorang yang melihat kejadian itu mengintervensi, memarahi pelecehan itu, dan dua bersaudara itu berhasil melarikan diri. Namun, masalah tidak berhenti sampai di sana, karena mereka terguncang.

Baca Juga

Seham dan Ekhlas baru saja tiba di Kairo beberapa bulan sebelumnya, melarikan diri dari kekerasan di tanah air. Pelecehan itu memunculkan kenangan traumatis tentang penahanan, penyiksaan, dan pemerkosaan di tangan milisi di pegunungan Nuba, Sudan.

"Kami datang ke sini mencari keselamatan. Namun, kenyataannya sangat berbeda," kata Ekhlas, menceritakan kembali kejadian yang terjadi pada November.

Mesir selama beberapa dekade telah menjadi tempat perlindungan bagi para migran Afrika sub-Sahara. Mereka berusaha melarikan diri dari perang atau kemiskinan.

Organisasi Internasional untuk Migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (IOM) mengatakan, Mesir menampung lebih dari 6 juta migran. Lebih dari setengahnya dari Sudan dan Sudan Selatan, tempat konflik yang terus-menerus menggusur puluhan ribu orang setiap tahun.

Bagi sebagian orang, Mesir adalah tujuan dan surga, negara terdekat dan termudah bagi mereka untuk masuk. Bagi yang lain, itu adalah titik transit sebelum mencoba menyeberang Mediterania yang berbahaya ke Eropa.

Tapi, perjalanan mereka di tempat baru sering kali justru memunculkan bahaya lain, dalam bentuk pelecehan atau rasis. Dalam kunjungan ke beberapa komunitas migran di seluruh Kairo, empat anak-anak telah mengalami penghinaan rasis, pelecehan seksual, atau pelanggaran lainnya dalam tiga bulan terakhir.

Anak-anak mengatakan mendapatkan lemparan batu dan sampah ketika pergi ke atau dari sekolah. Seorang perempuan dari Ethiopia mengatakan, tetangga menggedor jendela-jendela rumah keluarganya, berteriak "budak" sebelum menghilang saat malam.

Meski masih terdapat perilaku diskiminasi dan pelecehan, ada tanda-tanda Mesir mulai mengenali dan mengecam kejahatan rasisme. Pada November, muncul kemarahan publik atas sebuah video yang beredar menunjukkan tiga remaja Mesir mengintimidasi seorang anak sekolah dari Sudan Selatan.

Dalam video, yang diambil dengan ponsel, para remaja memblokir jalan anak itu, tertawa, dan mengolok-olok penampilannya sebelum mencoba mengambil tasnya. Setelah kejadian itu, polisi menahan para remaja itu selama sehari sebelum keluarga remaja itu menyelesaikan masalah dengan keluarga anak asal Sudan Selatan, John Manuth.

Beberapa minggu kemudian, Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi menjamu Manuth di sebuah forum pemuda di tempat peristirahatan Sharm el-Sheikh di Mesir. Dia membuat pengakuan tingkat tinggi yang jarang tentang masalah tersebut.

"Mereka adalah tamu kami dan perlakuan negatif tidak dapat diterima dan tidak diizinkan," kata el-Sissi.

Pada 2018, sebuah pengadilan menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada seorang pria yang diketahui melecehkan pengungsi. Pria itu memukuli hingga mati seorang guru Sudan Selatan yang telah bekerja di sebuah sekolah yang dikelola masyarakat untuk para pengungsi di Kairo.

Walau ada perkembangan, pengungsi dan pekerja Hak Asasi Manusia mengatakan, negara itu masih memiliki jalan panjang. Kasus kekerasan seksual dan berbasis gender yang dilaporkan terhadap migran telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

IOM menyatakan, perempuan dan anak perempuan adalah golongan yang paling terpengaruh, begitu juga pria dan anak lelaki yang rentan. Petugas pengembangan proyek IOM Shirley De Leon menjelaskan, hal itu terjadi karena tekanan ekonomi Mesir.

"Tantangan tetap ada dan diperburuk oleh inflasi, pendapatan yang terkikis dan pengangguran kaum muda yang tinggi," kata Leon.

Ahli urusan Afrika di Pusat Studi Politik dan Strategis al-Ahram Kairo Attia Essawi mengatakan, akan butuh banyak hal untuk mematahkan beberapa kepercayaan masyarakat tentang migran. "Pihak berwenang harus tegas, dengan langkah-langkah yang lebih keras terhadap rasisme dan intimidasi," katanya. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement