Jumat 07 Feb 2020 09:50 WIB

Ini yang Buat Trump selamat dari Pemakzulan

Trump menganggap hasil sidang di Senat AS kemarin sebagai sebuah kemenangan.

Ketua House of Representative Nancy Pelosi tampak merobek kopi pidato Trump, Rabu (5/2). Aksi Pelosi dilakukan usai Trump seakan enggan membalas jabat tangan Pelosi di Capitol Hill, Washington.
Foto: AP
Ketua House of Representative Nancy Pelosi tampak merobek kopi pidato Trump, Rabu (5/2). Aksi Pelosi dilakukan usai Trump seakan enggan membalas jabat tangan Pelosi di Capitol Hill, Washington.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berhasil lolos dari proses pemakzulan setelah mayoritas Senat AS menyatakan Trump tak bersalah atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Hasil sidang pemakzulan kemarin juga menunjukkan perpecahan politik di AS yang kian parah.

Proses pemakzulan Trump diloloskan politikus Partai Demokrat yang menguasai House of Representative AS pada Desember tahun lalu. Sedangkan dalam persidangan pada Rabu (5/2) waktu setempat, 52 anggota Senat yang seluruhnya dari Partai Republik menolak dakwaan atau pasal penyalahgunaan kekuasaan terhadap Trump. Sebanyak 48 anggota lainnya menerima pasal tersebut, termasuk satu senator Republik, Mitt Romney.

Baca Juga

Selain penyalahgunaan kekusaan, Trump juga didakwa menghalangi upaya kongres dalam melakukan penyelidikan terhadapnya. Sebanyak 53 anggota Senat menolak pasal tersebut. Sementara 47 lainnya menerima, kali ini tak termasuk Mitt Romney.

Untuk dapat dimakzulkan, diperlukan dua pertiga atau 67 suara di Senat AS. Jika hasil pemungutan suara tak memenuhi angka tersebut, presiden terkait dinyatakan bebas.

Trump diselidiki karena diduga menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan ancaman akan membekukan dana bantuan militer sebesar 400 juta dolar AS. Pembekuan dana akan dilakukan jika Zelensky tak menuruti permintaan Trump, yakni menginvestigasi Joe Biden yang disebut berupaya melengserkan jaksa agung Ukraina dari jabatannya.

Hal tersebut dilakukan Biden saat masih menjabat sebagai wakil presiden AS pada era pemerintahan Barack Obama. Kala itu, jaksa agung Ukraina dilaporkan sedang menyelidiki kasus korupsi di Burisma, sebuah perusahaan gas di Ukraina.

Putra Joe Biden, yaitu Hunter Biden, diketahui menjabat sebagai dewan direksi di perusahaan tersebut. Namun, belum ada petunjuk yang membuktikan bahwa Biden dan anaknya Hunter melakukan kedua pelanggaran tersebut.

Bertolak dari hal itu, tindakan Trump menekan Zelensky agar menyelidiki Biden bermotif politik. Biden merupakan salah satu kandidat kuat calon presiden AS dari Partai Demokrat dalam pemilihan presiden AS tahun ini.

Trump dituding hendak menyisihkan Biden dalam kontestasi pilpres AS yang dijadwalkan digelar pada November mendatang. Dengan demikian, peluangnya untuk terpilih kembali sebagai presiden lebih besar.

Trump menganggap hasil sidang di Senat AS kemarin sebagai sebuah kemenangan. “Saya akan membuat pernyataan publik besok pukul 12.00 dari Gedung Putih untuk mendiskusikan kemenangan negara kita dalam pemakzulan hoaks,” ujar Trump melalui akun Twitter pribadinya, kemarin. Trump menyebut pemakzulan sebagai upaya kudeta dan upaya Demokrat untuk membatalkan kemenangannya saat pemilu 2016.

Sebaliknya, pihak Demokrat menyebut persidangan itu palsu dan ditutup-tutupi. Mereka juga menuduhnya menghalangi Kongres karena menolak untuk berpartisipasi dalam penyelidikan pemakzulan.

photo
Seorang warga di Salt Lake City, AS, Kamis (6/2), mengangkat papan ucapan terim kasih ke Senator Mitt Romney yang dianggap berani memilih ya untuk Presiden Trump diturunkan dari jabatannya.

Polarisasi menguat

Di sisi lain, sidang di Senat kemarin menggambarkan kian terbelahnya politik di AS dalam dua polar yang berseberangan. Spektrum politik AS belakangan memang makin kental dengan pemisahan pandangan konservatif yang diusung Partai Republik melawan agenda liberal Partai Demokrat.

Bukti-bukti serta saksi-saksi yang dihadirkan maupun hasil investigasi parlemen AS terhadap tindakan Trump yang dihadirkan di House dan Kongres tak bisa menggeser kesetiaan legislator dari partai mereka masing-masing.

Hal ini kentara jika menengok hasil proses-proses pemakzulan sebelumnya. Pada pemakzulan presiden Bill Clinton terkait skandal seks dan penghalangan proses hukum pada 1998, misalnya, 31 Demokrat di House menyumbang suara mendukung pemakzulan yang diusulkan Republik. Sedangkan di Senat, Clinton diselamatkan 10 Republikan yang menilainya tak bersalah.

Sementara itu, pada pemakzulan presiden Richard Nixon terkait skandal Watergate pada 1974, suara kedua partai di House hampir bulat meloloskan pemakzulan dengan kemenangan 410 mendukung melawan 4 menolak. Keseragaman pandangan di House itu memaksa Nixon mengundurkan diri sebelum Senat sempat menggelar sidang pemakzulan.

Survei yang digelar Gallup pada akhir Januari 2020 menunjukkan keterbelahan di tingkat masyarakat AS terkait pemakzulan Trump. Sigi tersebut menunjukkan 50 persen warga AS menilai Trump tak bersalah dan 46 persen menginginkannya dimakzulkan. Sementara tingkat dukungan terhadap kepemimpinan Trump menunjukkan angka 49 persen berbanding 50 persen dengan hanya 1 persen responden tak berpihak atau enggan menjawab.

Jika dibelah menurut spektrum politik, responden yang terafiliasi dengan Partai Republik hampir secara menyeluruh mendukung Trump (94 persen). Sebaliknya, responden yang terafiliasi dengan Partai Demokrat hanya 7 persen yang mendukung Trump.

Senator Demokrat dari Connecticur, Chris Murphy, mengakui bahwa proses pemakzulan ini merupakan cerminan polarisasi politik di AS. “Persidangan ini dalam banyak hal menegaskan pandangan oposisi yang diametris antara Demokrat dan Republikan terhadap negeri ini,” kata dia dilansir the New York Times, kemarin.

Pihak Demokrat, menurut dia, melihat Trump sebagai ancaman nyata terhadap AS, sedangkan Republikan menilai media liberal dan konspirasi elite politik adalah ancaman sebenarnya. Murphy menilai, perpecahan di AS sudah kentara selama tiga tahun belakangan. “Tapi, persidangan ini mengkristalisasi perbedaan tersebut,” kata dia.

Sebaliknya, senator Partai Republik berpengaruh Lamar Alexander mengatakan, khawatir bila Trump dinyatakan bersalah justru akan mendorong AS ke perpecahan yang semakin mendalam. "(Vonis bersalah akan) menyiram bensin ke api," kata Alexander yang mewakili Tennessee, Kamis (6/2).

Pada akhirnya, proses pemakzulan Trump dan hasilnya kemarin juga disebut bakal mengancam integritas Pemilu Presiden AS 2020 ini. Dengan keterbelahan yang nyaris sama kuat, menurut guru besar di Ohio State University, Edward B Foley, ada kemungkinan manapun pihak yang kalah tak akan menerima hasil pilpres dengan melancarkan rerupa tudingan soal kecurangan.

“Kongres AS harus menunjukkan bahwa kedua partai masih mampu melaksakan pemilu yang bebas dan adil,” kata Foley dalam tulisannya di situs politik terkemuka AS, Politico, kemarin. n Kamran Dikarma, Fergi Nadiralintar satria/reuters/ap ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement