REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita mengatakan pihak berwenang sedang menyiapkan perundingan dengan kelompok militan. Dia berharap dapat mengakhiri konflik pemberontakan yang membuat negara itu tidak dapat dikendalikan dan memicu kekerasan etnik.
Dalam beberapa bulan terakhir angkatan bersenjata Mali mengalami kerugian besar dalam menghadapi kelompok radikal. Pemberontak itu meningkatkan serangan terhadap tentara dan warga sipil di wilayah perbatasan dengan Burkina Faso.
"Mengapa tidak mencoba untuk mengkontak orang yang kami tahu memainkan benangnya," kata Keita, Selasa (11/2).
Hal itu ia katakan dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan oleh stasiun radio Radio France Internationale. Meningkatnya kekerasan di Mali tengah dan wilayah utara memicu pemerintah berpikir ulang.
"Jumlah kematian di Sahel menjadi berkali lipat, ini waktunya untuk menjelajahi jalur tertentu," katanya.
Keita tidak mengatakan apa yang perlu dilakukan untuk berbicara dengan kelompok radikal. Tapi ia mengatakan mantan presiden Dioncounda Traore yang menjadi perwakilan pemerintah di Mali tengah 'memiliki tugas untuk mendengarkan semua pihak'.
Pasukan Prancis melakukan intervensi pada 2013 lalu untuk merebut kembali wilayah utara yang diambilalih pemberontak tahun sebelumnya. Tapi milisi berhasil membentuk diri mereka kembali dan memanfaatkan konflik antar masyarakat untuk merekrut dan memperluas jangkauan mereka di Mali tengah.
Pada tahun lalu, organisasi perdamaian International Crisis Group mengatakan upaya berdialog dengan kelompok radikal mungkin dapat perlawanan baik di Mali maupun luar negeri. Banyak pihak yang khawatir dialog justru akan melegetimasi kelompok tersebut dan gagasan-gagasan mereka.
Pemerintah mengatakan mereka sudah merekrut lebih dari 100 ribu pasukan untuk menghalau ancaman kelompok radikal. Prancis pun mengirimkan 600 pasukan sebagai tambahan dari 4.500 pasukan yang sudah ada di sana untuk menghadapi kelompok bersenjata di Sahel.
Sekitar 14 ribu pasukan perdamaian PBB juga ditempatkan di sana. Tapi pekan lalu petugas kemanusiaan PBB di Mali Ute Kollies mengatakan menambah jumlah pasukan tidak akan menyelesaikan krisis itu. Ia mendesak adanya keterlibatan politik.
Tahun lalu, 456 warga sipil tewas dan ribuan lainnya terluka dalam kekerasan di Mali tengah. Dalam laporannya organisasi kemanusiaan Human Rights Watch mengatakan tahun 2019 menjadi tahun paling mematikan bagi warga Mali sejak gejolak itu berlangsung.