REPUBLIKA.CO.ID, ADIS ABABA— Parlemen Ethiopia mengesahkan undang-undang pada Kamis (13/2) yang dapat memenjarakan warganya yang mengunggah konten internet pemicu keresahan.
Pemerintah mengatakan pengesahan undang-undang itu diperlukan untuk mencegah kekerasan menjelang pemilu namun Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan undang-undang itu akan mematikan kebebasan berbicara.
Selama beberapa dekade Ethiopia merupakan salah satu negara di Afrika yang dikendalikan dengan sangat ketat. Namun negara itu mengalami perubahan politik yang sangat besar sejak Perdana Menteri yang berjiwa reformis Abiy Ahmed berkuasa dua tahun lalu.
Meski Abiy telah membebaskan tahanan politik dan wartawan serta mencabut larangan terhadap partai oposisi, pemerintahannya berjuang mengekang kerusuhan dalam kekerasan etnis. Pemilu tahun ini dipandang sebagai ujian terbesar apakah reformasi politik yang ambisius dari Abiy masih bertahan.
UU baru itu memungkinkan denda hingga 3.000 dolar AS dan penjara hingga lima tahun bagi siapa pun yang menyebarkan dan menciptakan unggahan di media sosial yang dianggap melahirkan kekerasan atau gangguan terhadap tatanan masyarakat.
Sebanyak 297 legislator yang hadir dalam sidang menyetujui pengesahan RUU itu sementara hanya 23 yang menolak.
"Ethiopia menjadi korban disinformasi," kata legislator Abebe Godebo. "Negeri ini merupakan tanah air keanekaragaman dan UU ini akan menyeimbangkan keanekaragaman itu."
Beberapa legislator yang menentang UU itu mengatakan aturan ini melanggar jaminan konstitusional atas kemerdekaan berbicara.
Abiy, yang meraih Hadiah Nobel tahun lalu atas jasanya melakukan rekonsiliasi dengan musuh abadi dan tetangga Ethiopia, Eritrea, bersumpah bahwa pemilu tahun ini akan berlangsung bebas dan jujur. Negeri berpenduduk 108 juta jiwa itu menyelenggarakan pemilu secara teratur sejak 1995 namun hanya sekali, di tahun 2005, yang kompetitif.
UU itu pertama kali disetujui kabinet Abiy pada November. Saat itu pejabat pelapor khusus PBB tentang kemerdekaan ekspresi mendesak pemerintah untuk mempertimbangkannya, seraya mengingatkan UU itu akan memperburuk ketegangan antaretnis yang sudah tinggi dan kemungkinan memicu kekerasan lebih jauh.
Kelompok hak-hak asasi internasional mengatakan UU itu menciptakan satu perangkat hukum bagi pemerintah untuk memberangus oposan.
"Politisi dan aktivis atau yang lain akan dipaksa berhati-hati, takut bahwa ucapan mereka mungkin termasuk dalam definisi ujaran kebencian atau dapat dianggap sebagai informasi palsu," kata peneliti Ethiopia dari Amnesty Internasional Fisseha Tekle.