REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara-negara Asia Tenggara tercatat memiliki ribuan kasus dan ratusan kematian akibat virus corona tipe baru dengan nama resmi SARS-Cov-2 yang kini dikenal sebagai Covid-19. Respons Asia Tenggara terhadap virus itu pun sangat bervariasi, dari tindakan terbaik yang dilakukan Singapura dalam penanganan virus hingga kemungkinan bencana bagi Indonesia.
Hingga Ahad (22/3), Indonesia mencatat 514 kasus corona, Malaysia mencatat 1.306 kasus, dan Thailand mencatat 599 infeksi kasus corona. Semuanya mencatat kenaikan satu hari terbesar dalam jumlah kasus. Vietnam (113 kasus), Kamboja (84 kasus), dan Filipina (380 kasus) mencatat peningkatan infeksi harian yang stabil. Sementara itu, Laos dan Myanmar masih mengeklaim tidak ada kasus corona di negaranya.
Singapura yang mencatat kasus corona pertama kali pada 23 Januari kini mencatat 455 kasus. Sejauh ini Singapura hanya melaporkan dua kematian akibat Covid-19, yang salah satu di antaranya seorang pria warga negara Indonesia (WNI).
Asisten profesor penyakit menular di National University of Singapore, Clarence Tam, mengatakan, Hong Kong dan Singapura telah menangani wabah dengan relatif baik karena keuntungan negara kecil dan memiliki kendali perbatasan yang baik, yang membuat pelacakan dan penyaringan kontak intensif lebih mudah. "Saat ini kami tidak tahu berapa banyak anak yang berkontribusi terhadap penularan. Mungkin banyak kasus pada anak-anak yang tidak terdeteksi karena penyakit pada anak-anak cenderung ringan. Namun, kami juga tidak melihat banyak wabah di sekolah," ujarnya dikutip Sydney Morning Herald, Senin (23/3).
Hong Kong telah menutup sekolah sejak Tahun Baru Imlek. Sementara itu, Singapura yang memiliki perjalanan kasus corona serupa masih memberlakukan kegiatan persekolahan. Menurut dia, pelajaran yang dapat dipetik oleh negara lain dari Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan dalam menangani pandemi corona dengan baik adalah menguji awal dan ekstensif, isolasi yang efektif, penelusuran kontak, serta langkah karantina.
"Setiap negara yang belum dapat mengimplementasikan tindakan ini dengan cepat, untuk alasan apa pun, berisiko tinggi penularan masyarakat yang tidak terkendali, seperti yang kita lihat sekarang di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat," kata Tam.
Pada langkah penanganannya, Malaysia, Thailand, dan Filipina memberlakukan langkah kontrol perbatasan paling ketat bagi siapa saja yang melakukan lalu lintas ke dan dari negara masing-masing. Sementara itu, Indonesia, dengan lebih dari 50 kali populasi Singapura, memiliki kekhawatiran terbesar karena laporan jumlah kasus infeksi dan kematian yang makin meningkat dari konfirmasi kasus pertama 2 Maret.
Profesor virologi Universitas Queensland, Ian Mackay, menyoroti beberapa tanda peringatan di Indonesia yang memberi sinyal bahwa situasinya bisa jauh lebih buruk daripada yang ditunjukkan oleh angka yang tersedia untuk umum saat ini. "Ketika Anda melihat banyak kematian dalam waktu singkat (seperti yang terjadi), itu menunjukkan ada beberapa kasus selama beberapa waktu. Selain itu, kami telah melihat banyak pelancong yang terinfeksi keluar dari Indonesia. Mereka hanya belum cukup diuji," kata Mackay.
Sejumlah negara di Asia Tenggara pun telah mengambil kebijakan isolasi wilayah guna mengekang persebaran virus. Tam mengatakan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina menghadapi tantangan yang sangat spesifik karena populasi yang besar dan daerah tersebar luas serta fakta bahwa negara-negara ini memiliki populasi pekerja migran yang sangat besar.
"Dan sementara beberapa negara memang memiliki kapasitas untuk melakukan respons yang efektif, kita tidak dapat hanya mengandalkan kapasitas nasional masing-masing karena epidemi di negara-negara lain terus menimbulkan risiko impor dan transmisi lokal. Ini berarti bahwa untuk memiliki respons yang efektif dan terkoordinasi, kita membutuhkan investasi yang jauh lebih besar dalam memperkuat sistem kesehatan di seluruh wilayah," ujar Tam.