Sabtu 04 Apr 2020 00:27 WIB

Suku Adat di Malaysia Lari ke Hutan Hindari Corona

Penduduk asli desa Jemeri di Malaysia mengisolasi diri dan mencari makan di hutan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Anak-anak dari suku Batek di hutan Malaysia.
Foto: Reuters/Zainal Abd Halim
Anak-anak dari suku Batek di hutan Malaysia.

REPUBLIKA.CO.ID, PAHANG -- Sejumlah suku desa Jemeri di Negara Bagian Pahang, Malaysia melarikan diri ke hutan karena khawatir terhadap penyebaran pandemi virus corona jenis baru atau Covid-19. Mereka takut, virus tersebut dapat menginfeksi kelompok etnis Orang Asli yang tinggal di desa itu.

"Kami akan kembali ke hutan untuk mengisolasi diri kami sendiri dan mencari makanan. Kami tahu cara mendapatkan makanan dari hutan, dan ada beberapa yang bisa kami tanam di sana," ujar seorang penduduk desa dan aktivis, Bedul Chemai.

Baca Juga

Orang Asli termasuk yang termiskin dan paling rentan terinfeksi virus corona di Malaysia. Infeksi Covid-19 pertama yang menyerang masyarakat adat telah dilaporkan pada minggu lalu. Direktur Jenderal Depertemen Pengembangan Orang Asli, Juli Edo mengatakan, seorang bocah lelaki berusia tiga tahun dari sebuah desa dinyatakan terinfeksi Covid-19.

Orang Asli adalah keturunan dari kelompok etnis pribumi yang menghuni Semenanjung Malaysia dan tidak digolongkan sebagai orang Melayu. Mereka berjumlah sekitar 200 ribu orang.

Mereka sangat terpukul dengan kebijakan lockdown yang diberlakukan oleh pemerintah. Mereka yang kesulitan mencari makanan, karena penghasilan mereka dari berjualan sayur, buah-buahan, dan karet telah terhenti. Sementara, mereka enggan pergi ke kota untuk membeli makanan karena takut terinfeksi Covid-19.

Seorang aktivis dari suku Temuan, Shaq Koyok mengatakan, warga desanya telah menutup akses masuk dan keluar ke desa mereka. Desa tempat tinggal suku Temuan terletak sekitar 60 kilometer dari ibukota Kuala Lumpur.

"Bahkan saya tidak bisa pergi ke desa," ujar Shaq yang tinggal di Kuala Lumpur.

Masyarakat adat rentan terhadap penyakit karena faktor-faktor yang meliputi kemiskinan dan kekurangan gizi. Tingkat kemiskinan mereka yang dilaporkan lebih dari 30 persen dibandingkan dengan rata-rata Malaysia 0,4 persen. Tahun lalu, satu desa adat di timur laut Semenanjung Malaysia menyaksikan 15 kematian dan puluhan jatuh sakit akibat campak.

Selama beberapa dekade, Orang Asli mengatakan, mereka telah melihat perambahan tanah adat mereka. Perusahaan kelapa sawit dan perusahaan kayu telah menebangi hutan sehingga Orang Asli terancam kehilangan tempat tinggal.

"Di beberapa desa ini, mereka bahkan tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari makan. Seorang ketua desa memberi tahu saya bahwa mereka akan mati karena virus atau mati karena kelaparan," kata Ili Nadiah Dzulfakar dari Klima Action Malaysia. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement