Kamis 09 Apr 2020 11:26 WIB

Status 'Lockdown' di Kota Wuhan Dicabut, Tapi Warganya Tidak Merayakannya

Pergerakan warga lokal di Wuhan masih dibatasi.

Red:

Setelah 76 hari ditutup atau 'lockdown', kota Wuhan yang jadi sumber awal penularan virus corona telah dibuka kembali. Jutaan warga akhirnya dapat berpergian, setelah harus diam di rumah sejak 22 Januari.

Salah satu warga yang terperangkap di Wuhan adalah Zhu Yi, yang pulang ke kota tersebut pada tanggal 20 Januari untuk merayakan Imlek bersama keluarganya. Mendengar kabar diangkatnya status 'lockdown' di Wuhan, perempuan tersebut merasa senang.

"Warga di Wuhan sangat senang karena kami sudah terkunci di dalam rumah lama sekali," katanya kepada ABC. Namun, bukan berarti juga semua hal akan kembali berjalan seperti semua di kota Wuhan.

Pergerakan warga masih dibatasi

Pergerakan warga lokal di Wuhan masih dibatasi, setelah melihat masih adanya 1.000 orang dalam pengawasan dan dirawat karena COVID-19.

 

Sebagai kota yang sudah mengalami penyebaran virus yang parah, pemerintah setempat tetap mengambil langkah hati-hati untuk menghindari penularan kembali virus corona.

Sejak pemerintah setempat Wuhan mulai melonggarkan peraturan beberapa minggu ini, Zhu dan keluarganya sudah mulai keluar rumah untuk berbelanja di supermarket dengan tetap menerapkan aturan 'physical distancing' atau menjaga jarak antara individu

Ia mengatakan warga di Wuhan, termasuk dirinya sendiri, sempat meremehkan virus corona sebelum menjadi wabah. "Ketika kami tiba di sini, tidak ada orang yang mengenakan pelindung. Mereka masih keluar-keluar seperti biasa," kata Zhu Yi.

"Mereka tidak sadar betapa seriusnya virus ini. Saya sendiri bahkan sempat ikut perkumpulan keluarga yang dihadiri 50 orang."

 

Zhu merasa beruntung karena saat lebih dari 50.000 warga di Wuhan yang terinfeksi virus corona, keluarganya sama sekali tidak tertular.

"Di lingkaran keluarga dan teman saya, saya sudah mendengar kurang lebih ada 10 orang meninggal," katanya.

Tetap tak bisa keluar kota seenaknya

Zhu dan keluarganya sudah membeli tiket untuk kembali ke kota Shenzhen tanggal 12 April nanti. Namun, tidak semua orang yang ada di Wuhan dapat kembali ke kota mereka semudah itu.

Misalnya, mereka yang mau pergi ke Beijing harus mendapat izin dari Pemerintah Beijing, sebelum membeli tiket transportasi. Hampir semua orang yang berasal dari Wuhan harus melakukan karantina 14 hari saat tiba di kota lain.

Mereka juga baru diizinkan untuk meninggalkan Wuhan, bila telah melewati pemeriksaan dan mendapat penilaian "hijau" di kolom kesehatan pada aplikasi pemerintah.

Sedangkan, mereka yang mendapat penilaian "merah" atau "oranye", akan tetap dilarang berpergian selama beberapa minggu atau bulan.

 

"Orang-orang tidak bergejala masih bisa membawa virus dan masih bisa menularkan. Jadi kita harus hati-hati menangani mereka," kata Liu Zhengyin, spesialis penyakit menular.

"Karena Wuhan sedang pelan-pelan melonggarkan aturan terkait beberapa aktivitas, kasus [virus corona] sesekali masih bisa muncul dalam proses ini. Namun, warga tidak perlu khawatir."

Pemerintah kota Wuhan berharap dengan dikuranginya jumlah penerbangan dan berlakunya larangan masuk bagi warga asing ke China, pemerintah pusat dapat lebih ketat mendeteksi warga negara China yang terinfeksi virus corona sewaktu mendarat di negara tersebut.

Selain Wuhan, kota-kota lain di provinsi Hubei juga sudah mulai melonggarkan aturan mereka terkait 'lockdown'.

Namun, stigma terhadap penduduk dari provinsi Hubei tetap masih ada seperti yang terjadi di perbatasan provinsi Jiangxi akhir Maret lalu.

 

Hari berduka nasional

Akhir pekan lalu, China menetapkan hari berduka nasional bagi ribuan keluarga korban yang meninggal karena COVID-19, dengan menaikkan bendera setengah tiang dan mengheningkan cipta selama tiga menit.

Selama ini, Pemerintah China meminta agar media selalu menerbitkan berita "positif", seperti pasien yang sembuh atau tenaga medis yang digambarkan sebagai pahlawan.

Namun, bagi mereka yang berduka, seperti Liu Ning yang kehilangan adiknya yang adalah penyandang disabilitas, tentunya sulit untuk melanjutkan kehidupannya.

"Saya menerima panggilan tanggal 12 Februari lalu dari orang yang merawat adik saya. Ia mengabari bahwa adik saya meninggal tapi tidak diberitahu kenapa," kata Liu.

"Mereka hanya bilang kalau kedua paru-parunya ada masalah dan memberi waktu setengah jam bagi saya untuk melihat jasadnya, sebelum dibawa ke rumah duka untuk dikremasi."

 

Padahal tanggal 12 Februari penularan virus corona di kota Wuhan sedang dalam keadaan parah, daerah tempat tinggal Liu dalam status 'lockdown', yang artinya ia tidak dapat mengatur rencana transportasi dalam waktu sesingkat itu.

"Rumah yang menampung adik saya tidak bisa mengirim almarhum ke rumah sakit karena tidak ada yang mau menerima dia," katanya.

Hal yang sama juga dirasakan ribuan keluarga di China yang kehilangan anggotanya karena virus corona atau terbatasnya akses ke rumah sakit. Kehidupan di kota Wuhan pun akan terlihat berbeda, tidak akan seperti sebelumnya.

Pagar sementara dan kawat berduri, yang semula digunakan untuk membatasi aktivitas di luar rumah, telah dilepaskan di beberapa rumah warga. Tapi tetap ditemukan di kawasan lainnya.

Di supermarket, masih diterapkan aturan 'physical distancing' dan pengecekan suhu badan masih dilakukan.

Bagi kota dengan populasi 11 juta orang ini, keadaan mereka tidak akan segera normal seperti semula.

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement