REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, penyebaran virus corona di Inggris belum sampai pada puncaknya. Karena itu karantina wilayah yang membatasi pergerakan warga di Negeri Tiga Singa itu dilanjutkan.
Pada Jumat (10/4), sebanyak 980 pasien virus corona di Inggris meninggal dunia. Maka virus yang dikenal Covid-19 itu sudah menewaskan hampir 9.000 pasien di Inggris.
Hancock mengatakan, Inggris harus melewati puncak pandemi sebelum akhirnya dapat mengubah kebijakan karantina wilayah. Menurut Hancock, walau jumlah orang yang masuk rumah sakit menurun tapi hal itu tidak menjadi bukti yang cukup Inggris sudah melalui masa terburuknya.
"Penilaian kami belum sampai ke sana, kami belum melihat kurva mendatar yang membuat kami dapat mengatakan kami telah mencapai puncaknya," kata Hancock di stasiun radio BBC, Sabtu (11/4).
Demi menahan penyebaran Covid-19, Inggris sudah menerapkan karantina wilayah tiga pekan lalu. Kini, pemerintah semakin ditekan untuk mengungkapkan berapa lama lagi larangan pergerakan ini diberlakukan karena banyak bisnis yang akhirnya tidak bisa beroperasi.
Sejumlah ilmuwan memprediksi, puncak wabah akan terjadi beberapa pekan lagi. Namun, Hancock mengatakan, 'tidak ada yang tahu' hingga hal itu terjadi.
"Ada berbagai macam saran, tugas mereka adalah membuat prediksi terbaik dan memberikan saran dan kami harus menyatukan berbagai saran yang berbeda dari berbagai ilmuwan," kata Hancock.
Pemerintah memperingatkan, angka kematian akan meningkat dalam beberapa hari ke depan. Tapi mereka juga berharap dengan adanya karantina wilayah, jumlah kematian akibat Covid-19 di bawah 20 ribu.
Awalnya, pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson mengambil respons yang cukup ringan dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Namun, ia mengubah haluan setelah muncul proyeksi langkah itu akan menewaskan seperempat juta warga Inggris.
Pemerintah Inggris masih dihujani kritikan karena lambatnya respons dan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi pandemi. Selain itu, banyak dokter dan perawat di Inggris yang mengatakan, mereka merawat pasien tanpa alat pelindung diri (APD) yang memadai.
Sebanyak 19 petugas medis di Inggris meninggal dunia karena Covid-19. Sebelas di antaranya adalah dokter.
Asosiasi dokter Inggris, British Medical Association (BMA) mengatakan, para petugas medis dihadapkan dengan keputusan 'yang menghancurkan hati'. Mereka terpaksa merawat pasien tanpa APD memadai dan membahayakan nyawa mereka sendiri.
"Tidak ada dokter yang harus berada dalam bahaya ketika mereka bekerja dan di masa yang tak biasa ini, hal ini lebih penting daripada sebelumnya," kata ketua BMA Dr Chaand Nagpaul.