Korea Utara menutup perbatasannya dengan China 22 Januari lalu, sehari sebelum status 'lockdown' diberlakukan di kota Wuhan, China, pusat penyebaran corona Wuhan.
- Korea Utara mengatakan tidak memillik kasus COVID-19 di negaranya
- Para ahli meragukan Korea Utara dan mengkhawatirkan sistem layanan kesehatan yang lemah
- Banyak fasilitas medis tidak memiliki air bersih, listrik sabun dan hand sanitiser
Apakah Pyongyang, ibukota Korea Utara, mengetahui sesuatu mengenai virus tersebut yang tidak diketahui negara lain? Atau mereka justru bereaksi cepat karena menganggap sebagai ancaman besar bagi kesehatan?
Jawabannya, seperti banyak juga hal lain soal Korea Utara, sulit dipastikan karena negara ini adalah salah satu negara yang paling tertutup di dunia.
Namun, paling tidak menurut media milik pemerintah Korea Utara, usaha Korea Utara memerangi COVID-19 berhasil, karena sejauh ini tidak sama sekali mencatat adanya kasus corona.
"Saya curiga mengenai angka nol itu," kata W Courtland Robinson, asisten profesor di Johns Hopkins University di Amerika Serikat kepada ABC.
"Dengan tindakan yang diambil lebih awal, melihat kedekatannya dengan China, dan betapa cepatnya virus itu menyebar, besar kemungkinan Korea Utara paling tidak memiliki beberapa kasus."
Tindakan awal yang cepat
Korea Utara mengejutkan banyak pihak ketika memutuskan menutup perbatasannya dengan China pada tanggal 22 Januari lalu.
Warga dari daratan China sudah lama menjadi turis terbanyak ke Korea Utara, yang juga menjadi sumber pendapatan terpenting saat negaranya mendapat sanksi internasional.
Namun sejak pandemi COVID-19, perjalanan di dalam negeri dibatasi, dengan warga asing dan warga setempat yang baru pulang dari luar negeri harus menjalani karantina ketat.
Tempat-tempat umum, termasuk sekolah dan toko-toko ditutup, penggunaan masker diwajibkan, warga, baik muda atau lanjut usia, diminta tinggal di rumah.
Namun dengan keputusan cepat seperti ini, pengamat seperti Courtland justru mengatakan aspek kesehatan lain yang dilakukan Korea Utara masih belum jelas.
"Tidak ada bukti nyata mengenai kebijakan social distancing, atau juga tes besar-besaran ataupun pelacakan terhadap mereka yang terjangkit," katanya.
Jie Chen, peneliti masalah internasional di University of Western Australia mengatakan pemahaman Korea Utara soal sistem propaganda di China dan kesamaan sistem politik antara kedua negara memainkan peranan.
"Korea Utara sangat khawatir di masa-masa awal karena pemimpin mereka mengerti betul bagaimana rezim otoriter bekerja," kata Dr Chen.
"Mereka tahu apa yang terjadi. Itulah mengapa mengapa mereka menutup perbatasan sebelum lockdown di Wuhan."
Layanan kesehatan yang lemah dan warga yang rentan
Katharina Zellwegger, pakar kesehatan dari Stanford University di Amerika Serikat, mengatakan sebelum wabah virus corona, Korea Utara sudah mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk layanan kesehatan.
"Layanan kesehatan di sana, menurut pendapat saya, sudah ditelantarkan oleh organisasi bantuan internasional, hanya beberapa saja yang bekerja di sektor ini," kata katharina.
"Rumah sakit yang ada kebanyakan sudah tua dan bangunannya sudah rusak. Peralatannya juga banyak yang sudah kuno dan persediaan obatnya terbatas."
Courtland Robinson dari Johns Hopkins University mengatakan banyak rumah sakit bahkan tidak memiliki akses untuk mendapatkan bahan bakar ataupun air bersih, sementara peralatan canggih "tidak berfungsi atau tidak tersedia."
"Infrastruktur kesehatan publik lemah dan sudah tidak mendapat pendanaan memadai selama puluhan tahun."
Apa yang terjadi bila ada wabah di sana?
Media Korea Utara yang dikontrol pemerintah mengatakan sejauh ini tidak ada kasus COVID-19.
Wartawan senior Jean H Lee, yang pernah menjadi kepala biro kantor berita AP di Pyongyang, mengatakan penting sekali untuk selalu mempertanyakan berita yang disampaikan media di Korea Utara.
Menurutnya, banyak warga asing yang tinggal di Korea Utara sudah memutuskan meninggalkan negeri itu, sehingga susah untuk menemukan sumber independen mengenai keadaan di sana.
"Kita tidak akan tahu berapa warga Korea Utara yang meninggal karena COVID-19, namun yang kita tahu sebagian besar penduduk di sana sangatlah rentan," kata Jean.
Selama dia meliput di sana, Lee mengunjungi banyak fasilitas kesehatan, mulai dari rumah sakit terbaik di Pyongyang sampai dengan klinik lokal yang dijalankan oleh perempuan.
"Saya masih ingat, dokter di sebuah klinik di sana mengatakan kepada saya, mereka tidak memiliki obat untuk menghentikan diare, dan diare adalah penyebab kematian utama di komunitasnya," tambahnya.
"Bayangkan betapa susahnya bagi mereka menghadapi pandemi seperti COVID-19."
Sementara fasilitas kesehatan tampak bersih, mereka sering kali tidak memiliki air bersih, listrik dan bahkan sabun.
"Lupakan soal ventilator, mereka bahkan tidak memiliki sabun atau hand sanitiser."
Steve Chung, peneliti politik dan budaya Korea di University of Hong Kong, mengatakan kepada ABC jika fasilitas medis di Korea Utara sangat tertinggal dibandingkan negara-negara maju.
"Rumah sakit terbaik di Korea Utara mungkin 30-50 tahun tertinggal dibandingkan di negara Barat dan itu masih perkiraan yang terbaik," kata Steve.
Dia mengatakan obat-obatan dan cairan pembersih diseludupkan dari China ke Korea Utara, karena pasokan barang-barang seperti ini tidak pernah cukup, selain juga akibat kurangnya informasi kesehatan publik yang disampaikan pemerintah.
Dr Jie Chen dari University of Western Australia mengatakan Korea Utara tampaknya bertekad untuk "tidak kalah menghadapi COVID-19" dan itulah alasan sebenarnya mengapa negeri itu cepat bertindak.
"Korea Utara memiliki salah satu sistem pelayanan kesehatan terburuk di dunia, sanksi PBB pun membuat negeri itu hampir tidak mendapat bantuan internasional selama pandemi." kata Dr Chen.
Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia