REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International menuduh pasukan keamanan Ethiopia melakukan pembunuhan ekstra yudisial dan penangkapan sewenang-wenang. Walaupun perdana menterinya baru saja menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun lalu.
Dalam laporannya yang dirilis Jumat (29/5), Amnesty mengatakan pada 2019, pasukan keamanan Ethiopia membunuh 25 orang di zona Guji dan Guji Barat di wilayah Oromia yang bergejolak. Para korban diduga anggota kelompok pemberontak Oromo Liberation Army.
Amnesty juga mengatakan dari Januari hingga September 2019 pasukan keamanan Ethiopia menangkap setidaknya 10 ribu orang baru dicurigai. Organisasi HAM tersebut menambahkan 'sebagian besar di antaranya mengalami pemukulan brutal'.
Pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed yang mendapatkan Nobel Perdamain pada Desember 2019 setelah menggelar reformasi politik dan memperbaiki hubungan dengan negara tetangga Eritrea belum mengomentari laporan ini. Ada kekhawatiran tindakan-tindakan keras pemerintah kembali lagi.
Ketegangan antara Ethiopia dengan 80 kelompok etnik meningkat. Hal itu terutama setelah ada seruan untuk otonomi yang lebih luas lagi. Laporan Amnesty juga mendokumentasikan beberapa kekerasan intra komunal di wilayah Oromia dan Amhara, dua wilayah yang paling padat di Ethiopia.
Kekerasan semacam itu cukup mengkhawatirkan mengingat Ethiopia akan menggelar pemilihan umum yang sempat ditunda karena pandemi virus korona. Pemilu itu akan mengukur dukungan terhadap Ahmed yang mulai berkuasa pada 2018 lalu.
Tanpa ada jadwal pemilu dan mandat legislatif yang meminta eksekutif daerah dan federal mengakhiri pemerintahan pada Oktober. Partai-partai politik Ethiopia pun berselisih tentang bagaimana caranya menghindari krisis konstitusional.
Amnesty mengakui pihak berwenang Ethiopia telah membuat progres dalam hak asasi manusia. Tapi mereka memperingatkan kekerasan dapat berkembang dan tak terkendali.
"Tapi dengan adanya pemilihan umum kekerasan dan pelanggaran ham ini dapat berkembang tanpa kontrol kecuali pemerintah segera mengambil langkah untuk memastikan pasukan keamanan bertindak sesuai hukum," kata Direktur Amnesty International wilayah Selatan dan Timur Afrika Deprose Muchena.
Muchena menambahkan pemerintah harus mengakui dan mempertahankan perbedaan opini dan pandangan politik. Dalam laporan terbaru, aktor-aktor yang Amnesty tuduh melakukan kekerasan selama 2019 antara lain pasukan khusus polisi, pemerintah daerah, organisasi pemuda bersenjata dan kelompok yang main hakim sendiri.
Organisasi HAM itu mengatakan dengan semakin luasnya ruang politik banyak politisi yang 'membangkitkan perbedaan etnik dan agama'. Sehingga, memicu kekerasan di lima dari sembilan wilayah di Ethiopia.
"Penelitian menemukan operasi keamanan di wilayah Amhara dan Oromia gagal total yang ditandai impunitas yang sulit dibayangkan terjadi pada Ethiopia saat ini," kata Amnesty dalam laporan mereka.
Salah satu mantan tahanan mengatakan pada Amnesty banyak kasus penangkapan sewenang-wenang. Banyak orang termasuk anak-anak yang ditahan karena pihak berwenang tidak menemukan anggota keluarga mereka, pihak yang seharusnya ditangkap.