REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan, membahas masalah keamanan regional dalam panggilan telepon, Selasa (21/7). Gedung Putih melaporkan, salah satu yang dibahas adalah pentingnya deeskalasi di Libya melalui pemindahan pasukan asing.
Putra mahkota adalah pemimpin de facto Uni Emirat Arab (UEA). Posisinya menentukan konflik yang sedang terjadi di Libya antara pasukan yang bermarkas di Tripoli Government of National Accord (GNA) melawan pasukan Libyan National Army (LNA) Khalifa Haftar yang berbasis di timur.
UEA, bersama Mesir dan Rusia, mendukung Haftar dalam konflik tersebut. Mereka melawan kekuatan pemerintah negara yang diakui secara internasional dengan bantuan Turki secara langsung sejak awal tahun ini.
Konflik Libya semakin panas setelah Parlemen Mesir mengumumkan menyetujui permintaan Presiden Abdel-Fattah al-Sisi untuk mengirim pasukan ke Libya, Senin (20/7). Keputusan itu dilakukan setelah sebelumnya pasukan GNA memindahkan pasukan lebih dekat ke Sirte pada Sabtu (18/7). Sekitar 200 kendaraan bergerak ke arah timur dari Misrata di sepanjang pantai Mediterania menuju kota Tawergha, sekitar sepertiga dari perjalanan ke Sirte.
Sebelum pengumuman parlemen Mesir, Trump pun telah melakukan komunikasi dengan Presiden Mesir, Abdel-Fattah al-Sisi. Kantor Kepresidenan Mesir menyatakan, kedua negara setuju perlunya menghindari eskalasi antara pasukan yang bertempur di wilayah tersebut.