Ahad 02 Aug 2020 16:08 WIB

Pengalaman Mengerikan 2.000 Anak Mantan Tahanan ISIS

Anak-anak Yezidi korban kekerasan ISIS mengalami trauma berat.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Anak-anak Yazidi korban kekerasan ISIS mengalami trauma berat. Ada ribuan warga Yazidi yang mengungsi dari Iraq.
Foto:

Pekerja kemanusiaan, ahli kesehatan mental profesional, dan pengasuh memberi tahu Amnesty International tentang tantangan khusus bagi dua kelompok anak yang selamat. Di antaranya mantan tentara anak-anak dan anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

Ribuan anak laki-laki Yezidi yang ditangkap ISIS kelaparan, disiksa dan dipaksa untuk bertarung. Akibatnya mantan prajurit anak-anak ini kemungkinan besar menderita kondisi kesehatan serius atau cacat fisik, seperti kehilangan lengan atau kaki.

Anak laki-laki Yezidi sering diisolasi ketika mereka kembali, karena keluarga dan komunitas mereka tahu pengalaman anak-anak selama penawanan. Mereka sering menjadi sasaran propaganda intens, indoktrinasi dan pelatihan militer, yang sengaja dimaksudkan untuk menghapus identitas, bahasa, dan nama mereka sebelumnya.

Dari 14 mantan tentara anak yang diwawancarai, lebih dari setengahnya mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka belum menerima segala bentuk dukungan. Baik dukungan psikososial, kesehatan, keuangan atau lainnya, setelah mereka kembali ke keluarga dari cengkraman ISIS. 

"Saya terpaksa bertarung, saya harus melakukannya atau mati, saya tidak punya pilihan lain, itu di luar kendali saya. Untuk bertahan hidup, saya melakukan pertempuran, itu adalah hal terburuk yang dapat terjadi pada manusia mana pun," kata Sahir yang direkrut secara paks ISIS pada usia 15 tahun.

"Yang saya cari (setelah bebas dari ISIS) hanyalah seseorang yang peduli pada saya, beberapa dukungan, untuk memberi tahu saya bahwa 'saya di sini untuk kamu', ini adalah apa yang saya cari dan saya tidak pernah menemukannya," ujar Sahir.

Sementara, gadis-gadis Yezidi menderita berbagai pelecehan di penangkaran ISIS, termasuk kekerasan seksual. Gadis-gadis yang selamat dari kekerasan seksual menderita berbagai masalah kesehatan, termasuk fistula traumatis, parut bekas luka, dan kesulitan hamil atau menggendong seorang anak.

"Saya masih kecil ketika mereka membuat saya menikah, mereka membuat saya menderita, saya ingin masa depan saya menjadi lebih baik, saya ingin ISIS bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan pada saya," kata Randa seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang ditahan ISIS selama lima tahun.

Seorang dokter, yang organisasinya telah menyediakan perawatan medis dan psikososial untuk ratusan wanita dan gadis yang selamat, mengatakan bahwa hampir setiap gadis yang ia rawat antara usia sembilan sampai 17 tahun. Mereka telah diperkosa atau menjadi sasaran kekerasan seksual lainnya.

Amnesty International menemukan bahwa layanan dan program yang ada untuk para penyintas kekerasan seksual sebagian besar telah mengabaikan anak perempuan. Anak-anak ini secara sistematis mengalami kengerian kehidupan di bawah ISIS, dan sekarang mereka dibiarkan begitu saja membawa pengalaman buruknya.

"Mereka harus diberi dukungan yang sangat mereka butuhkan untuk membangun kembali kehidupan mereka sebagai bagian dari masa depan komunitas Yezidi," kata Matt Wells. 

photo
Komunitas Yazidi Irak meninggalkan kampung halamannya. - (AFP/Getty)

Anak hasil kekerasan seksual

Perempuan dan anak perempuan Yezidi melahirkan ratusan anak sebagai hasil perbudakan seksual oleh ISIS. Banyak dari anak-anak ini ditolak dan tidak mendapat tempat di komunitas Yezidi karena sejumlah faktor. 

Termasuk sikap Dewan Spiritual Tertinggi Yezidi dan kerangka hukum saat ini di Irak, yang mengamanatkan bahwa setiap anak yang 'tidak dikenal' atau ayahnya harus terdaftar sebagai Muslim.

Beberapa wanita yang diwawancarai Amnesty International mengatakan mereka ditekan, dipaksa atau bahkan dibohongi untuk meninggalkan anak-anak mereka, menyebabkan penderitaan mental yang parah. 

Para wanita ini juga secara keliru diyakinkan bahwa mereka akan dapat mengunjungi atau menyatu kembali dengan anak-anak mereka di tahap selanjutnya.

Semua wanita yang diwawancarai yang terpisah dari anak-anak mereka mengatakan, tidak memiliki kontak dengan atau akses ke anak-anaknya. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa tidak dapat berbicara dengan keluarga atau komunitas mereka tentang keinginan untuk bersatu kembali dengan anak-anak mereka, karena khawatir akan keselamatan mereka sendiri.

"Saya ingin memberi tahu (komunitas kami) dan semua orang di dunia, tolong terima kami, dan terima anak-anak kami, saya tidak ingin punya bayi dari orang-orang ini. Saya terpaksa memiliki seorang putra. Saya tidak akan pernah meminta untuk bersatu kembali dengan ayahnya, tetapi saya harus bertemu kembali dengan putra saya," kata Janan (22 tahun).

"Perasaan saya adalah perasaan yang sama seperti semua ibu lainnya, kita semua berpikir untuk bunuh diri atau mencoba melakukannya, kita adalah manusia, kita memiliki hak-hak kita, dan kita ingin anak-anak kita bersama kita. Apa pun yang kami alami dengan ISIS, kami sedang mengalami sesuatu yang lebih buruk sekarang, kami membutuhkan solusi," kata Hanan (24) yang putrinya diambil darinya.

Amnesty International menyerukan kepada organisasi internasional seperti UNHCR untuk memprioritaskan dan mempercepat agar perempuan dan anak-anak ini bisa bermukim kembali atau relokasi kemanusiaan, dengan kerjasama dari otoritas nasional dan pemerintah asing.

“Para wanita ini diperbudak, disiksa dan menjadi sasaran kekerasan seksual. Mereka seharusnya tidak menderita hukuman lebih lanjut. Mereka perlu dipersatukan kembali dengan anak-anak mereka, dan setiap pemisahan di masa depan harus dicegah. Mereka harus ditawari kesempatan bermukim atau relokasi bersama anak-anak mereka, mengingat risiko besar yang mereka hadapi di Irak," kata Matt Wells. 

Para penyintas anak-anak Yezidi dilarang sekolah formal selama tahun-tahun penahanan mereka. Mereka banyak kehilangan program yang tersedia untuk pembelajaran yang dipercepat. Karena mereka tidak sadar mereka ada atau karena mereka dihambat oleh birokrasi yang berlebihan.

Akibatnya, banyak anak yang selamat memilih keluar dari sistem pendidikan sepenuhnya. Namun, para ahli yang diwawancarai oleh Amnesty International sepakat bahwa bersekolah sangat penting dalam membantu anak-anak yang selamat mengatasi trauma mereka. 

"Setelah saya kembali ke sekolah, keadaan menjadi lebih normal, dan saya merasa lebih baik. Kamu membutuhkan sekolah untuk memiliki masa depan," kata Nahla yang selamat dari ISIS di usia 16 tahun.

Banyak anak yang selamat dari Yezidi telah kembali berbicara bahasa Arab, bukan Kurdi. Sehingga mencegah mereka dari reintegrasi sepenuhnya dengan keluarga dan komunitas mereka. Mereka miskin dan banyak keluarga terlilit utang setelah harus membayar puluhan ribu dolar AS sebagai tebusan untuk menjamin pembebasan anak-anak mereka.

"Menjelang peringatan keenam serangan ISIS terhadap Yezidis, otoritas nasional di Irak dan masyarakat internasional harus melakukan semua yang mereka bisa untuk memastikan reparasi penuh atas pelanggaran hak-hak anak-anak ini, dan untuk memberi mereka dukungan yang berhak mereka dapatkan," kata Matt Wells.

 

Sumber: https://www.abc.net.au/news/2020-08-02/mount-gambier-yazidi-community-remembers-islamic-state-massacre/12507418 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement