REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini China mungkin memiliki kekuatan militer terbesar kedua di dunia. Negeri Tirai Bambu diperkuat berbagai senjata, perlengkapan dan peralatan paling canggih. Tapi negara dengan populasi terbesar itu memiliki satu kelemahan yang mungkin tidak dimiliki negara-negara miskin di Timur Tengah dan Afrika.
Kelemahan yang sulit ditutupi dengan jumlah pasukan yang luar biasa banyak. Pakar dan peneliti pertahanan di lembaga non-profit RAND Corporation, Timothy Heath menilai pasukan China saat ini tidak memiliki pengalaman bertempur.
"Persenjataan teknologi tinggi militer China saat ini semakin mengesankan, tapi kemampuan menggunakan senjata dan peralatan itu masih belum jelas, ada alasan untuk bersikap skeptis," tulis Heath di situs RAND dan diunggah ulang National Interest pada Senin (7/9).
Sementara pasukan Irak, Iran, Afghanistan, Arab Saudi, Turki, Nigeria dan sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika lainnya sudah lama bertempur melawan pemberontak dan teroris. Selama beberapa dekade terakhir, China tidak memiliki perlawanan yang berarti.
Heath mengatakan terakhir kali militer China atau yang dikenal Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA) terlibat dalam pertempuran besar terjadi pada tahun 1979. Ketika militer Vietnam yang berpengalaman menghancurkan invansi China yang ceroboh.
Saat itu militer Vietnam baru saja mengalahkan pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya. Sementara Partai Komunis China baru saja membubarkan angkatan bersenjata mereka sendiri melalui pembersihan besar-besaran bermotif politik.
Pembentukan PLA menunjukkan keputusan tersebut merusak. Hal itu terbukti banyak operasi yang gagal. Keterampilan pasukan dalam menjalankan taktik rendah.
Pasukan infrantri tidak bisa membaca peta dan melakukan navigasi. Karena tidak terbiasa dengan prosedur mengukur dan menghitung jarak tembak, tembakan pasukan artileri tidak akurat.
"Kekalahan itu masih menghantui PLA, sebagian besar pihak berwenang China mengabaikan konflik memalukan itu dengan cara yang canggung agar cocok dengan narasi Beijing yang mendorong perdamaian, tapi kebungkaman pemerintah membuat veteran PLA kecewa dengan partisipasi mereka dalam perang," tambah Heath.
Heath menambahkan sejumlah veteran yang berperang dalam pertempuran itu akan pensiun dalam beberapa tahun mendatang. Maka artinya militer China tidak memiliki personel yang mempunyai pengalaman bertempur.
Menurut Heath tidak berarti 'kelemahan' ini membuat China tidak bisa 'memenangkan' konflik besar. Tentu para pakar masih memperdebatkan apakah akan ada pihak yang 'menang' dalam perang besar. Tapi hasil perang dapat dihitung dari kerugian hilangnya nyawa, ekonomi, kehancuran lingkungan dan kekacauan politik.
'Kemenangan' dalam perang besar artinya, salah satu pihak berhasil mencapai tujuan strategisnya sambil menahan pihak lawan meraih hal yang sama. Heath menengok ke sejarah untuk menjelaskan peran pengalaman dalam perang.
Pasukan AS
Pada Perang Dunia II, AS juga tidak memiliki pengalaman perang seperti rekan-rekan Eropa mereka yang sudah melalui berbagai perang termasuk Perang Dunia I. Tapi saat itu AS sudah memiliki sumber daya, semangat perang, dan dasar institusional seperti pelatihan, pendidikan dan kapasitas untuk memperbaiki diri.
Hingga mereka dengan cepat bangkit setelah mengalami kekalahan dari pasukan Jerman di Kasserine Pass, Afrika Utara pada 1943. Sebaliknya pada perang Teluk tahun 1991 militer Irak sudah berpengalaman setelah bertempur selama delapan tahun dengan Iran. Tapi persenjataan, doktrin dan institusi mereka tidak memadai.
Pengalaman koalisi yang dipimpin AS tidak sebanyak pasukan Irak, tapi mereka justru memenangkan perang. Dengan senjata, pelatihan, dan kesiapan sisa perang dingin yang dimiliki AS. Irak tidak dapat berbuat banyak.
Pasukan AS saat ini memiliki pengalaman tempur paling banyak dibandingkan angkatan bersenjata lainnya di seluruh dunia. Militer AS sudah berperang selama bertahun-tahun di Irak, Afghanistan dan wilayah-wilayah lain. Perang-perang tersebut tentu berbeda bila AS berperang dengan Cina.
Intensitas pertempuran di perang-perang tersebut masih rendah bila di AS bertempur dengan Cina. Lawan-lawan AS di perang-perang sebelumnya juga tidak memiliki persenjataan dan peralatan secanggih Cina saat ini. Sehingga hasilnya pun masih bisa diperdebatkan.
"Di level strategis, perang antara pasukan China dan AS tampaknya akan melibatkan pertempuran intensitas tinggi yang tidak pernah dialami kedua belah pihak, hasil bentrokan pertama dapat berjalan sebaliknya, dengan persiapan dan rencana dan kondisi yang ideal, China mungkin dapat memenangkan pertempuran pertama," kata Heath.
Namun menurut Heath pertempuran pertama tidak akan mengakhiri perang. AS dapat memanfaatkan kemampuan mereka dalam beradaptasi dan meningkatkan performa mereka dalam pertempuran berikutnya.
"Sama ketika mereka maju lagi setelah terpukul di Kasserine Pass untuk mengalahkan Jerman," tambah Heath.