REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hubungan diplomatik formal antara Kosovo dan Israel, diklaim menjadi angin segar bagi komunitas Yahudi di Kosovo. Sebagai negara bermayoritas Muslim, hal tersebut memang menjadi harapan baru bagi segelintir komunitas Yahudi di Kosovo. Salah satunya adalah Flori Dedoni, Yahudi asal Kosovo.
"Ketika seseorang mengetahui bahwa saya orang Yahudi, mereka biasanya bertanya dalam percakapan mengapa Israel tidak mengenali kami," kata Dedoni mengutip JTA, Selasa (15/9).
Namun, dirinya mengaku jika hal itu berubah seiring waktu. Ia juga tak menutupi rasa bahagianya dalam normalisasi hubungan itu.
Pengakuan tersirat Israel atas Kosovo, adalah bagian dari kesepakatan tiga arah yang diumumkan pada 4 September lalu oleh Gedung Putih. Menurut pengumuman tersebut, Serbia, yang mengklaim kepemilikan wilayah Kosovo dan telah berjuang melawan pengakuan internasional atas deklarasi kemerdekaannya pada 2008, telah setuju untuk bekerja sama dalam beberapa masalah ekonomi dengan pemerintah Kosovo.
Dari kesepakatan itu, ada penetapan bahwa kedua negara akan membuka kedutaan besar di Yerusalem. Hal ini, tentu dipandang Amerika Serikat dan Israel sebagai perkembangan, mengingat keputusan itu ditentang Palestina dan Uni Eropa.
Kembali pada Dedoni, dirinya dan keluarga memang sempat mempertimbangkan untuk bermigrasi ke Israel dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, hubungan Israel dan Kosovo, serta kesediaan Serbia untuk menormalkan hubungan dengan Kosovo, ia sebut menjadi harapan baru untuk tetap tinggal di Kosovo.
“Ada suasana kegembiraan di masyarakat saat ini,’’ tambahnya.
Sebagai warga yang lahir dan besar di Kosovo, Dedoni memang berbeda dengan anggota komunitas Yahudi lainnya di Kosovo. Sebab, mayoritas dari anggota komunitas itu ia sebut merupakan warga Israel yang bekerja di perusahaan internasional dan ditempatkan di Kosovo.
Dirinya membandingkan antara gaji yang didapat Yahudi Israel dan Yahudi atau masyarakat Kosovo yang terkesan jauh. Menurutnya, sebagian besar dari mereka diberi gaji bulanan yang cukup besar jika dibandingkan rata-rata negara.
Ketika ditanya normalisasi hubungan Israel dengan negaranya, ia juga menyinggung Amerika Serikat dan Donald Trump. Menurut dia, Presiden AS itu memang memiliki popularitas yang cukup tinggi di Kosovo.
Hal itu, terbukti dengan adanya jajak pendapat Gallup dari 2018. Dikatakan jika dukungan untuk Trump memperoleh sekitar 75 persen di Kosovo. Jumlah itu jauh lebih tinggi daripada tempat lain di Eropa (diikuti Albania, dengan 72 persen). Dalam jajak pendapat Gallup tahun ini, peringkat persetujuan di Kosovo naik menjadi 82 persen, dan tetap menjadi yang tertinggi di Eropa.
Dedoni juga mengaitkan ini dengan laporan kesepakatan diplomatik yang mengalir di bulan ini. Menurut dia, di Kosovo, "Trump adalah Amerika. Dan Amerika serta Israel, berdiri untuk kesuksesan dan kebebasan'.