REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pada 28 September 1995, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat menandatangani kesepakatan soal pembagian wilayah yang memberi Palestina kendali atas sebagian besar wilayah Tepi Barat. Penandatanganan Perjanjian tersebut dilakukan di Washington, Amerika Serikat (AS).
Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat memasukkan nama mereka ke dalam perjanjian setebal 400 halaman dalam upacara sederhana di Ruang Timur Gedung Putih. Penandatanganan disaksikan oleh Presiden AS kala itu, Bill Clinton, Presiden Mesir Hosni Mubarak, dan Raja Hussein dari Yordania.
Penandatangan ini hampir gagal oleh ketidaksepakatan di menit-menit terakhir antara Rabin dan Arafat mengenai pengaturan kepolisian di kota Hebron, Tepi Barat. Namun debat dapat diselesaikan hanya beberapa jam sebelum upacara penandatanganan.
Menteri Luar Negeri Israel Shimon Perez menyambut baik kesepakatan itu. "Setelah dilaksanakan, Palestina tidak lagi akan tinggal di bawah dominasi kami. Mereka akan memerintah sendiri dan kami akan kembali ke warisan kami," ujar Perez seperti dilansir laman BBC History, Senin.
Arafat menyatakan telah terjadi cukup banyak pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa yang menyebut kesepakatan itu sebagai "perdamaian para pemberani". Namun ia mengakui kesepakatan ini masih akan ditentang oleh banyak orang.
Menyusul perjanjian Oslo yang penting pada September 1993, juga ditengahi oleh pemerintahan Clinton, Gaza dan kota Jericho di Tepi Barat diserahkan kepada pemerintahan Palestina. Tapi pengeboman bunuh diri di Israel oleh ekstremis Hamas terus berlanjut dan terjadi setelah setiap serangan Israel menutup perbatasannya dengan orang Arab yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat.
Pekerja migran adalah tulang punggung ekonomi Gaza dan setiap penutupan merupakan pukulan finansial yang parah bagi warga Palestina dan kredibilitas Arafat sebagai pemimpin di mata rakyatnya. Karena alasan ini warga Palestina tidak antusias dengan kesepakatan baru, yang dikenal sebagai Oslo 2, dan skeptis terhadap peluang perdamaian jangka panjang.
Dari pihaknya, Rabin menghadapi tentangan kuat dari partai sayap kanan Likud dan dari pemukim Yahudi, terutama mereka yang tinggal di atau dekat Hebron. Para pemukim percaya Tepi Barat, yang diduduki oleh Israel sejak perang 1967, adalah bagian dari wilayah yang diserahkan kepada Abraham dan Yahudi oleh Tuhan.
Diharapkan kesepakatan itu akan disahkan oleh mayoritas sempit di parlemen Israel (Knesset) sepekan setelah 28 September 1995. Namun para ahli keamanan memperkirakan setengah dari 140 ribu pemukim akan menolak segala upaya untuk mengusir mereka dan akan mencoba menghalangi penempatan polisi bersenjata Palestina di Hebron.
Berdasarkan perjanjian tersebut, enam kota Arab termasuk ibu kota komersial Nablus, akan dialihkan ke pemerintahan Palestina bersama dengan 60 persen Hebron. Israel juga akan menyerahkan polisi dan kekuasaan sipil di 450 kota dan desa Palestina. Namun itu akan mempertahankan kekuatan militer di sana dan Angkatan Darat Israel masih akan menguasai 70 persen tanah Tepi Barat secara keseluruhan.
Dalam perjanjian itu, juga akan ada pembebasan bertahap tahanan Palestina. Palestina juga akan memilih Dewan yang beranggotakan 82 orang dan kepala eksekutif.