REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Pemerintah Armenia mengumumkan darurat militer dan mengerahkan tentara secara penuh setelah bentrok dengan Azerbaijan menyangkut wilayah Nagorno-Karabakh, kata Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, Ahad (27/9). Ketegangan antara Armenia dan Azerbaijan memuncak pada Ahad (27/9) terkait insiden Nagorno-Karabakh.
Daerah itu merupakan wilayah pegunungan di Kaukasus Selatan yang dikuasai Azerbaijan, tetapi dihuni oleh mayoritas etnis warga Armenia.
Pemerintah Armenia di ibu kota negara, Yerevan, menuduh tentara Azerbaijan melancarkan serangan di Nagorno-Karabakh, sementara Pemerintah Azerbaijan di ibu kota negara, Baku, menuduh tentara Armenia juga melakukan tindakan serupa ke arah militer dan warga sipil.
Sementara itu, otoritas di Nagorno-Karabakh, yang mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1991, juga mengumumkan darurat militer dan mengerahkan penduduknya yang berjenis kelamin laki-laki untuk mengantisipasi bentrokan.
Armenia mengatakan Azerbaijan mengerahkan serangan udara dan artileri di Nagorno-Karabakh. Namun, Azerbaijan mengatakan pihaknya membalas serangan tentara Armenia.
Sejumlah pembela hak asasi manusia di Armenia mengatakan dua warga sipil, yaitu seorang perempuan dan anak-anak, tewas tertembak oleh tentara Azerbaijan. Sementara itu, Baku mengatakan sejumlah warga sipil di Azerbaijan juga terbunuh dan enam orang luka-luka.
Otoritas di Nagorno-Karabakh mengatakan 10 tentaranya tewas. Laporan tersebut belum dapat dikonfirmasi secara independen.
Kementerian Luar Negeri Rusia, yang lama berperan sebagai penengah, mendorong dua pihak untuk menghentikan adu tembak dan segera berunding. Dua negara telah lama bentrok memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh, yang melepaskan diri dari Azerbaijan setelah Uni Soviet bubar.
Keduanya telah menyepakati gencatan senjata sejak 1994, tetapi Azerbaijan dan Armenia kerap saling tuding tentara masing-masing negara meluncurkan serangan di Nagorno-Karabakh serta di sepanjang perbatasan dua negara.
Konflik di dua negara itu membuat banyak negara Barat dan negara lain di kawasan khawatir karena Kaukasus Selatan, wilayah Armenia dan Azerbaijan, merupakan lokasi pipa minyak dan gas untuk pasar dunia.
Insiden yang terulang
Kementerian Pertahanan Armenia mengatakan pasukan militer telah menghancurkan tiga tank dan menembak jatuh dua helikopter serta dua pesawat tanpa awak milik Azerbaijansebagai balasan terhadap serangan pada warga sipil, termasuk warga di ibu kota Nagorno-Karabakh, Stepanakert.
"Aksi kami proporsional dan petinggi militer-politik di Azerbaijan harus bertanggung jawab penuh atas situasi ini," kata kementerian, yang disampaikan kembali oleh Kementerian Luar Negeri Armenia.
Sementara itu, PM Armenia Pashiyan,lewat unggahannya di Twitter, mengatakan, "Kita harus tetap kuat bersama para tentara untuk melindungi tanah air dari agresi Azerbaijan".
Namun, Azerbaijan menyangkal pernyataan pihak Armenia. Pemerintah di Baku mengatakan pihaknya memiliki "banyak keuntungan untuk menghadapi musuh di garis depan". Azerbaijan balik menuduh tentara Armenia meluncurkan 'serangan yang disengaja' di sepanjang perbatasan.
"Kami membela wilayah negara kami, karena ini hak kami," kata Presiden AzerbaijanIlham Aliyevsaat menyampaikan pidato kepada publik.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengatakan sejumlah warga sipil tewas akibat bentrokan itu, tetapi belum ada laporan yang menyebut angka korban jiwa.
Sedikitnya200 orang tewas akibat bentrokan antara Azerbaijan dan Armenia sejak April 2016. Laporan terakhir menunjukkan 16 orang tewas pada Juli akibat rangkaian bentrokan antara pasukan dua negara itu.