REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemerintah China mendesak Amerika Serikat (AS) menanggalkan mentalitas Perang Dingin. Beijing secara khusus menyoroti tuduhan-tuduhan yang dilayangkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
"Pompeo telah berulang kali memalsukan kebohongan tentang China dan dengan jahat menciptakan konfrontasi politik," kata Kedutaan Besar China untuk Jepang dalam sebuah pernyataan pada Rabu (7/10). Pernyataan itu dirilis merespons kunjungan Pompeo ke Negeri Matahari Terbit.
Dalam kunjungan itu Pompeo menyerukan kerja sama lebih erat dengan Jepang dan negara Quad lainnya, yakni India dan Australia, untuk melawan pengaruh regional China. Pompeo ingin membentuk front persatuan guna menentang Beijing.
China bereaksi keras atas seruan Pompeo. "Kami sekali lagi mendesak AS meninggalkan mentalitas Perang Dingin dan prasangka ideologis, menghentikan tuduhan dan serangan yang tidak beralasan terhadap Cina dan memperlakukan hubungan dengan China secara konstruktif," kata Kedutaan Besar China di Jepang.
AS dan China terlibat perselisihan di beberapa isu, seperti Hong Kong, sengketa Laut Cina Selatan, dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang. Washington adalah salah satu negara yang menentang keputusan China menerapkan Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional untuk Hong Kong. AS menilai langkah itu telah merongrong dan menghancurkan otonomi Hong Kong.
AS juga termasuk salah satu negara di luar ASEAN yang rutin menentang klaim China atas Laut China Selatan (LCS). Penentangan dilakukan tidak hanya melalui pernyataan, tapi juga tindakan. AS kerap melakukan operasi kebebasan navigasi di wilayah perairan strategis tersebut.
China menilai operasi kebebasan navigasi itu merupakan tindakan provokatif. Ketegangan antara China dan AS di LCS masih berlangsung hingga kini. Selain itu, AS pun cukup intens menyuarakan kritik dan keprihatinan atas dugaan pelanggaran HAM Muslim Uighur di Xinjiang.
AS telah menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat China yang diyakini terlibat dalam praktik pelanggaran HAM di Xinjiang. Pada 22 September lalu House of Representatives AS telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) berjudul The Uyghur Forced Labor Prevention Act. RUU itu mengatur tentang larangan impor produk yang berasal dari Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur, China.
RUU mencatat bahwa barang atau produk yang dibuat dengan kerja paksa adalah ilegal berdasarkan Undang-Undang Tarif tahun 1930. "Tragisnya, hasil kerja paksa sering berakhir di sini, di toko-toko dan rumah-rumah Amerika," kata Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi, dikutip laman the Straits Times.
Menurut dia, AS perlu mengirim pesan yang jelas kepada Beijing mengenai hal tersebut. "Pelanggaran ini harus diakhiri sekarang," ujar Pelosi. RUU itu masih harus disahkan oleh Senat yang mungkin memiliki waktu terbatas sebelum pemilihan presiden dihelat pada 3 November.
The Uyghur Human Rights Project (UHRP) menyambut diloloskannya The Uyghur Forced Labor Prevention Act. Menurutnya, itu menjadi undang-undang nasional pertama di dunia yang menegakkan standar hak asasi manusia (HAM) untuk mengakhiri impor barang hasil kerja paksa minoritas Uyghur.
"Orang Amerika tidak ingin terlibat dalam membeli produk yang dibuat oleh Uyghur yang dikunci di pabrik kerja paksa China," kata Direktur Eksekutif UHRP Omer Kanat dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Radio Free Asia.
Dia mendorong Senat untuk mengambil sikap serupa dengan House of Representatives AS. "Semua pemerintah harus memberlakukan tindakan untuk melawan kekejaman massal pemerintah Cina, yang dilakukan dalam skala yang tidak terlihat sejak Perang Dunia II," ujar Kanat.