REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu mendesak seluruh pihak menghentikan pertempuran di Nogorno-Karabakh. Ia juga mengatakan bentrokan antara tentara Azerbaijan dan pasukan Armenia sebagai tragedi kemanusiaan.
Putin mengatakan Moskow khawatir terhadap meningkatkan aksi kekerasan di Karabakh, wilayah pegunungan Azerbaijan di Kaukasus Selatan yang dihuni sebagian besar oleh etnis Armenia. “(Pertempuran) ini adalah tragedi. Kami sangat khawatir,” kata Putin dalam pidatonya yang disiarkan oleh stasiun televisi.
“Kami berharap konflik ini dapat segera berakhir,” ujar dia menambahkan.
Konflik di Nagorno-Karabakh tahun ini merupakan insiden bersenjata terburuk setelah perang pada 1991-1994 yang menewaskan sekitar 30 ribu jiwa. Pertempuran antarpasukan sejak 27 September 2020 merupakan yang terparah dalam waktu lebih dari 25 tahun terakhir.
Rusia, Prancis, AS telah berupaya menjadi penengah. Namun Azerbaijan tidak menuruti permintaan gencatan senjata tiga negara kuat tersebut.
Rusia memiliki perjanjian bidang pertahanan dengan Armenia, yang memungkinkan tentara dan armada tempur Rusia ditempatkan di Armenia. Namun, perjanjian itu tidak mencakup wilayah Nagorno-Karabakh.
“Pertempuran itu, sayangnya, masih berlanjut sampai hari ini, dan tidak berlangsung di wilayah Armenia,” kata Putin.
“Sebagaimana diwajibkan oleh kerja sama (dua negara, red), kami selalu memenuhi, senantiasa memenuhi, dan akan terus memenuhi kewajiban kami,” sebut dia.
Putin menambahkan ia selalu menjalin komunikasi dengan Perdana Menteri Nikol Pashinyan untuk membahas upaya meredakan konflik. Kepala Intelijen Luar Negeri Rusia pada Selasa (6/10) memperingatkan wilayah Kaukasus Selatan dapat menjadi pintu masuk para ekstremis menyerang Rusia.
Sejauh ini, otoritas di Nagorno-Karabakh hari ini (7/10) mengumumkan 40 tentara tewas sehingga jumlah pasukan yang gugur sejak 27 September mencapai 320 jiwa.
Nagorno-Karabakh sejak 1990-an, setelah Uni Soviet bubar, telah memisahkan diri dari Azerbaijan. Namun, sebagian besar negara di dunia belum mengakui wilayah itu sebagai negara yang merdeka.