Jumat 16 Oct 2020 10:25 WIB

WHO Hadapi Isu Biaya Jika Vaksin Covid Punya Efek Samping

Perang mengalahkan Covid-19 tidak berhenti pada saat vaksin ditemukan.

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Seorang perawat memberikan vaksin. Perang mengalahkan Covid-19 tidak berhenti pada saat vaksin ditemukan. Ilustrasi.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, Belum ada vaksin Covid-19 yang disetujui secara internasional. Akan tetapi WHO memperkirakan suntikan vaksin pertama bisa siap tahun ini.

Umumnya, efek merugikan dari vaksin yang telah disetujui jarang terjadi. Namun kecepatan pengembangan vaksin Covid-19 meningkatkan risiko kondisi yang tidak terduga dan biaya litigasi yang besar.

Selama pandemi flu H1N1, WHO berjuang untuk mendistribusikan vaksin ke puluhan negara miskin. Sebagian karena telah setuju dengan perusahaan farmasi bahwa negara-negara yang lebih miskin akan menghadapi tuntutan kompensasi seperti halnya negara-negara kaya.

“Beberapa negara penerima merasa WHO tidak cukup menjelaskan bahwa ketentuan kewajiban yang termasuk dalam perjanjian penerima sama dengan ketentuan kewajiban yang diterima oleh negara pembeli,” demikian laporan komite WHO yang mengulas penanganan pandemi flu H1N1.

Sebagian besar dari setengah juta orang yang diperkirakan meninggal karena H1N1 berada di negara yang lebih miskin. Covid-19 sejauh ini telah menginfeksi hampir 38 juta orang dan menewaskan sedikitnya satu juta orang.

Ada hampir 200 vaksin virus corona yang sedang dikembangkan. Banyak pemerintah mengakui bahwa produsen obat mengambil risiko finansial yang besar dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin tersebut dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya dibutuhkan waktu 10-15 tahun untuk memproduksi dan memasarkan vaksin.

Ada konsensus yang luas bahwa sebagian dari biaya ini harus ditanggung oleh pembayar pajak. Banyak negara kaya sudah memiliki dana publik atau swasta yang dapat membayar ganti rugi kepada korban.

Akan tetapi banyak negara miskin yang telah setuju untuk mendapatkan vaksin melalui COVAX tidak memiliki skema kompensasi atau sumber keuangan untuk mendanai mereka. Ini berarti mereka dapat menghadapi biaya yang tidak mereka miliki atau calon korban di sana mungkin tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

"Kami prihatin bagaimana pengaturan seperti itu dapat menjadi penghalang untuk akses ke vaksin Covid-19 di negara berpenghasilan rendah dan menengah yang tidak dapat atau tidak ingin bertanggung jawab atas vaksin tersebut," kata Dimitri Eynikel dari Doctors Without Borders, organisasi medis nonpemerintah, kepada Reuters.

The Gates Foundation, salah satu penyandang dana terbesar WHO, menyuarakan keprihatinan serupa dalam pertemuan dengan para ahli kesehatan pada September, kata seseorang yang menghadiri pertemuan tersebut.

"Ini adalah prioritas tinggi bagi yayasan bahwa masalah distribusi diselesaikan untuk memastikan keputusan yang berdampak pada pengiriman seefektif mungkin," kata juru bicara Gates Foundation kepada Reuters. Ia menambahkan bahwa pekerjaan sedang dilakukan untuk mengatasi masalah itu.

Selain potensi biaya kompensasi, negara-negara termiskin yang memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin gratis atau lebih murah juga diharuskan untuk membeli vaksin hingga 2 miliar dolar AS pada akhir 2021. Ketentuan ini berdasarkan dokumen rahasia GAVI.

Mereka yang tidak mampu membayar dapat dibebaskan tahun depan. Namun kemudian mereka "akan diharapkan untuk mendanai bersama vaksin Covid-19 dengan kontribusi berjenjang yang mencerminkan kemampuan ekonomi untuk membayar" menurut dokumen yang salinannya dilihat oleh Reuters.

Kontribusi dari yang paling miskin, yang dapat dibiayai melalui pinjaman dan hibah dari donor internasional seperti Bank Dunia, diharapkan dapat membantu menutup kesenjangan pendanaan dan mencapai tujuan COVAX untuk membeli setidaknya dua miliar suntikan pada akhir tahun depan dari belasan pembuat vaksin.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement