REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Ethiopia pada Rabu (4/11) memulai operasi militer di Tigray setelah adanya aksi serangan terhadap tentara federal yang diduga dilakukan oleh pasukan bersenjata dari daerah tersebut.
Insiden itu bermula saat pemerintah daerah di Tigray tetap memutuskan menggelar pemilihan umum pada September 2020 dan menentang instruksi pemerintah pusat. Pemerintah Ethiopia menyebut pemungutan suara itu “ilegal” dan buntutnya bentrok terjadi antara pasukan bersenjata di Tigray dengan tentara pusat.
Kerusuhan antara dua kubu terus menguat dalam beberapa hari terakhir. Otoritas di Tigray dan pemerintah pusat saling menuduh masing-masing pihak menghendaki konflik bersenjata. Juru Bicara Perdana Menteri Ethiopia, Billene Seyoum, mengumumkan pemerintah telah meluncurkan operasi militer. Billene tidak memberi keterangan lebih lanjut.
Barisan Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) mencoba merebut senjata artileri dan alat pertahanan militer lainnya dari pangkalan militer milik pemerintah pusat, kata kantor perdana menteri lewat pernyataan tertulis.
“Garis batas terakhir telah dilewati setelah ada serangan pagi ini dan pemerintah federal terpaksa meluncurkan aksi militer balasan,” demikian isi pernyataan tersebut.
Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia telah menerima perintah untuk “menyelamatkan negara dan wilayah agar tidak jatuh dalam krisis,” kata pemerintah.
Otoritas di Tigray mengatakan Pasukan Komando Wilayah Utara, yang merupakan bagian dari militer Ethiopia, telah membelot ke kubu pemberontak. Billene menyebut klaim itu sebagai “kabar bohong”.
Menurut lembaga pengawas independen, NetBlocks, pemerintah telah memutus sambungan Internet di Tigray. Temuan itu mengonfirmasi sejumlah laporan yang mengatakan otoritas pusat mematikan akses telepon dan Internet.
Kepala Daerah Tigray, Debretsion Gebremichael, pada Senin (2/11) mengatakan pemerintah pusat berencana menyerang wilayahnya sebagai bentuk hukuman karena pemerintah daerah tetap menyelenggarakan pemilihan umum.
Seorang pengamat politik dari University of Addis Ababa, Asnake Kefale, mengatakan krisis politik yang disertai konflik militer dapat berdampak buruk bagi kawasan.
“Konflik dapat membuat kawasan menjadi tidak stabil jika tentara Ethiopia tidak dapat mengendalikan kerusuhan di dalam negeri,” kata Asnake.
Sebelum Abiy Ahmed terpilih sebagai perdana menteri, warga Tigray mendominasi dunia politik di Ethiopia, mengingat gerilyawan berperan besar melengserkan pemimpin diktator pada 1991. Namun, pengaruh Tigray melemah setelah Abiy berkuasa. TPLF pada tahun lalu juga keluar dari koalisi pendukung pemerintah.
Sejak Abiy berkuasa pada 2018, banyak pejabat senior di Tigray ditahan, dipecat, atau dicopot dari jabatannya. Menurut pemerintah, aksi itu merupakan upaya memberantas korupsi, tetapi warga Tigray berpendapat lain dan menyebut pemerintah berusaha membungkam oposisi.
Lima persen dari total penduduk Ethiopia sebanyak 109 juta jiwa merupakan warga Tigray. Walaupun demikian, daerah itu punya pendapatan tinggi dan lebih berpengaruh dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Pasukan militer di Tigray juga terlatih mengingat sejak 1980-an mereka memimpin tentara gerilya yang mengantar koalisi Barisan Demokratik Revolusioner berkuasa, kata beberapa pengamat.