REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, menyatakan situasi Ethiopia tidak terkendali dengan dampak mengerikan pada warga sipil, Rabu (9/12). Negara itu dinilai sangat membutuhkan pemantauan dari luar.
Bachelet menyebut situasi yang terjadi di negara itu sangat mengkhawatirkan dan tidak stabil dengan pertempuran yang dilaporkan di daerah sekitar ibu kota Tigray, Mekelle, dan kota Sheraro dan Axum. "Kami telah menguatkan informasi tentang penyelewengan dan pelanggaran HAM berat termasuk serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan objek sipil, penjarahan, penculikan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan," katanya.
Dikutip dari Aljazirah, Bachelet menyatakan, terdapat laporan perekrutan paksa pemuda Tigrayan untuk melawan komunitas mereka sendiri. "Kami tidak dapat mengakses daerah yang terkena dampak paling parah," ujarnya,
Sementara itu, Perdana Menteri Abiy Ahmed mengalihkan fokusnya dari perang dengan kelompok Tigray dengan membuka jalan raya lintas-perbatasan ke Kenya di ujung seberang negaranya. Abiy memotong pita di jalan raya besar yang menghubungkan Ethiopia selatan dengan pelabuhan Mombasa di Kenya, bersama mitranya dari Kenya, Presiden Uhuru Kenyatta, sebagai bagian dari aspirasi Ethiopia untuk menjadi pembangkit tenaga listrik regional.
“Sama seperti infrastruktur, kita harus bekerja pada perdamaian dan keamanan. Perdamaian adalah fondasi untuk semua yang kami cita-citakan untuk mengubah hidup orang-orang kami," kata Abiy di kota perbatasan Moyale, tidak menyebut Tigray.
Ethiopia telah menolak seruan untuk penyelidikan independen atas pertempuran mematikan di wilayah Tigray. Penolakan itu muncul saat negara-negara lain meminta transparansi lebih dalam pertempuran selama sebulan antara pasukan Ethiopia dan buronan pemerintah daerah Tigray yang diperkirakan telah menewaskan ribuan orang, termasuk warga sipil.