REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengeklaim bahwa Israel berada di balik pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, Senin (14/12) waktu setempat. Komentar Rouhani menandai pertama kalinya dia secara langsung menuduh negara Israel melakukan pembunuhan bulan lalu terhadap Fakhrizadeh, ilmuwan yang diduga telah mendirikan program nuklir militer Iran pada 2000-an.
Meski Israel berulang kali menolak mengomentari serangan terhadap ilmuwan itu, banyak pihak yang mencurigai bahwa Israel merencanakan pembunuhan selama dekade terakhir ini. "Mengobarkan ketidakstabilan dan perang di hari-hari terakhir pemerintahan Trump adalah tujuan utama rezim Zionis dalam pembunuhan itu," kata Rouhani.
Rouhani pun berjanji untuk membalas pembunuhan tersebut. Namun, dia mengatakan negaranya tidak akan mengizinkan Israel untuk memutuskan "waktu atau tempat" dari setiap tindakan pembalasan apapun. Dia mengatakan Iran tidak akan membiarkan ketidakstabilan di kawasan itu.
Fakhrizadeh mengepalai program AMAD Iran, yang diduga Israel dan Barat sebagai operasi militer yang melihat kelayakan untuk membangun senjata nuklir. Badan Energi Atom Internasional mengatakan bahwa "program terstruktur" berakhir pada 2003. Badan intelijen AS setuju dengan penilaian tersebut dalam laporan 2007.
Setelah pembunuhan Fakhrizadeh, seorang pejabat keamanan Iran, Ali Shamkhani, menuduh Israel menggunakan perangkat elektronik untuk membunuh ilmuwan itu dari jarak jauh. Meski demikian, Israel menegaskan, bahwa Iran masih mempertahankan ambisi mengembangkan senjata nuklir, merujuk pada program rudal balistik Teheran dan penelitian teknologi lain.
Namun, Iran kembali menyangkal hal tersebut, dengan mengatakan bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai. Rouhani juga merujuk pada kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan kekuatan dunia, di mana Presiden Donald Trump menyingkirkan AS pada 2018.
"Kami yakin situasinya akan berubah di bawah pemerintahan AS yang baru," katanya. Presiden terpilih Joe Biden mengatakan AS berpotensi kembali ke kesepakatan nuklir.
Pada November, perwakilan khusus AS untuk Iran Elliott Abrams menyatakan tekanan sanksi yang menargetkan Iran akan terus berlanjut pada pemerintahan Biden. Abrams mengatakan sanksi yang menargetkan Iran atas pelanggaran hak asasi manusia, program rudal balistik, dan pengaruh regionalnya akan tetap berlaku.
"Program rudal dan masalah regional tidak memiliki hubungan dengan kesepakatan nuklir. Ini sama sekali bukan masalah diskusi," kata Rouhani.