REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA - Otoritas lokal di Kolombia mengumumkan pembatasan baru pada Selasa setelah kasus infeksi Covid-19 kembali melonjak setelah dimulainya musim liburan. Wali kota Bogota Claudia Lopez mengumumkan peraturan baru di kota itu, yang melaporkan lebih dari 3.000 infeksi setiap hari.
Pembatasan tersebut termasuk pico y placa, yang memungkinkan orang meninggalkan rumah hanya untuk keperluan penting tergantung pada apakah kartu identitas mereka diakhiri dengan nomor ganjil atau genap. Lopez mengatakan hanya satu anggota keluarga yang diizinkan berbelanja untuk menghindari keramaian.
"Kita tidak bisa santai dan berhenti menjaga diri kita sendiri. Padatnya perdagangan dan intensitas pertemuan keluarga mempercepat penularan. Kita juga tidak bisa menyalahgunakan sektor kesehatan," kata Lopez.
Langkah tersebut diambil setelah meningkatnya kasus virus yang tercatat dalam beberapa hari terakhir di ibu kota. Pembatasan ditetapkan untuk berlanjut hingga awal 2021.
Pihak berwenang Kolombia telah berulang kali memperingatkan untuk menghindari pertemuan dan kerumunan Natal karena ada peningkatan kasus yang tajam dan kasus kematian di negara tersebut.
Pembatasan serupa telah diumumkan di kota-kota lain termasuk Medellin, Barranquilla, dan Cali, di mana tingkat hunian ICU rumah sakit di atas 80 persen. Di ibu kota Antioquia, Medellin, Wali Kota Daniel Quintero mengumumkan jam malam pada 24, 25, dan 26 Desember dari pukul 12 pagi hingga 6 pagi dan sekali lagi pada 31 Desember, 1 dan 2 Januari.
Dalam masa pembatasan itu Quintero merekomendasikan masyarakat untuk tidak mengunjungi kerabat, berbagi minuman, atau "berikan pelukan kepada tetangga".
Pembukaan kembali ekonomi Kolombia dimulai pada 1 September di bawah model isolasi selektif dan perawatan diri, yang ditetapkan oleh pemerintah nasional. Sejak itu, pihak berwenang telah berbicara tentang kemungkinan pembatasan baru yang bisa terjadi pada Januari.
Kasus virus korona di Kolombia mencapai rekor baru pada Sabtu, dengan 13.990 kasus. Hampir 41.000 orang di negara itu telah meninggal karena Covid-19, menurut penghitungan yang dilakukan oleh Universitas Johns Hopkins yang berbasis di AS.