Selasa 29 Dec 2020 02:02 WIB

Pandemi Sebabkan Rantai Pangan di Kepulauan Pasifik Putus

Kepulauan Pasifik menutup perbatasan selama pandemi sehingga impor pangan terganggu

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Ilustrasi wisata di Fiji. Kepulauan Pasifik menutup perbatasan selama pandemi sehingga impor pangan terganggu.
Foto: [ist]
Ilustrasi wisata di Fiji. Kepulauan Pasifik menutup perbatasan selama pandemi sehingga impor pangan terganggu.

REPUBLIKA.CO.ID, SUVA -- Infeksi virus corona hampir tidak menyentuh banyak pulau terpencil di Pasifik seperti Fiji. Namun, pandemi mengganggu rantai pasokan yang membawa impor pangan dan membuat harga melonjak seiring penurunan pariwisata.

Terisolasi secara geografis dengan lahan subur yang terbatas dan meningkatnya urbanisasi, banyak negara dan wilayah kepulauan Pasifik telah melihat populasinya bergeser dari pekerjaan berbasis pertanian tradisional ke pariwisata. Tren ini telah menciptakan peningkatan ketergantungan pada makanan impor seperti daging kornet, mi, dan makanan olahan lainnya daripada makanan tradisional lokal seperti ubi dan talas yang kaya nutrisi.

Baca Juga

Direktur Kantor Penghubung Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jepang, Eriko Hibi, menyebut pergeseran itu sebagai beban tiga masalah kesehatan. Beban tersebut adalah kekurangan gizi, defisiensi mikronutrien, dan obesitas.

Saat pandemi melanda, hampir semua negara di kawasan itu menutup perbatasannya. Rantai pasokan pengiriman, termasuk pupuk untuk pertanian dan makanan, terganggu, sehingga menyebabkan harga naik. Di Suva, Fiji, harga beberapa buah dan sayuran segar naik hingga 75 persen selama pekan-pekan pertama.

Di saat yang sama, menurut Hibi, pariwisata yang menyumbang hingga 70 persen dari produk domestik bruto beberapa negara terhenti. Kondisi ini menyebabkan ribuan pengangguran dengan akses yang menurun ke makanan. “Bukan hanya ketersediaan harga di pasar tetapi juga daya beli konsumen yang turun," kata Hibi.

Dengan krisis pangan yang mengancam, pemerintah telah memulai prakarsa masyarakat untuk membantu mengatasi kondisi itu. Mereka mencoba memperpanjang musim penangkapan ikan, memperluas pelajaran memproduksi makanan asli, dan mendukung program distribusi benih yang memungkinkan kemandirian penduduk yang lebih besar. Proyek ini menyediakan benih sayuran, anakan, dan peralatan pertanian dasar bagi penduduk untuk membantu menanam di kebun rumah sendiri.

"Kami awalnya mulai dengan 5.000 bibit dan berpikir kami akan menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Namun ada tanggapan yang sangat besar dan kami selesai mendistribusikan benih dalam satu pekan," kata kepala operasi Kementerian Pertanian Fiji, Vinesh Kumar.

Manajer penelitian di lembaga penelitian yang berbasis di Australia, Future Directions International, Mervyn Piesse, mengatakan masih terlalu dini untuk mengetahui manfaat kesehatan potensial dari konsumsi hasil lokal. Namun, pola makan regional mungkin bergeser dari impor ke makanan yang lebih segar, bahkan setelah pandemi.

"Menurut saya, ada gerakan di beberapa bagian Pasifik bagi orang-orang untuk mulai berpikir tentang 'Jika kita sendiri dapat menanam makanan selama pandemi global, mengapa kita tidak dapat melakukan hal yang sama pada waktu normal?'" ujar Piesse.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement