REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pembunuhan pemimpin militer paling senior Iran, Jenderal Qassem Soleimani, pada 3 Januari 2020 masih meninggalkan bekas. Ketegangan antara Teheran dan Washington tetap terjadi, bahkan semakin meningkat.
Muncul kekhawatiran akan bentrokan baru antara Iran dan Amerika Serikat (AS) di hari-hari terakhir kepresidenan Donald Trump. Menjelang peringatan setahun tewasnya Soleimani karena serangan pesawat nirawak, AS mengirim pembom B-52 terbang di atas wilayah tersebut dan kapal selam bertenaga nuklir ke Teluk Persia.
Pekan lalu, para pelaut menemukan sebuah tambang limpet di sebuah kapal tanker di Teluk Persia di lepas pantai Irak dekat perbatasan Iran. Ketika itu kapal tersebut bersiap untuk mentransfer bahan bakar ke kapal tanker lain milik sebuah perusahaan yang diperdagangkan di Bursa Efek New York.
Dikutip dari Euronews pada Senin (4/1), tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas penambangan tersebut, meskipun itu terjadi setelah serangkaian serangan serupa pada 2019 yang dituduhkan Angkatan Laut AS pada Iran. Namun, Teheran membantah terlibat.
Pengampunan Donald Trump atas kontraktor keamanan Blackwater yang menjalani hukuman lama atas pembantaian di Irak juga dapat mengobarkan ketegangan. Keputusan itu memicu kemarahan atas impunitas dalam pembunuhan di Irak.
Pekan lalu, roket menghantam dekat kedutaan besar AS di Baghdad setelah dicegat di udara. Serangan ini dilakukan oleh kelompok garis keras pro-Iran yang beroperasi di negara itu.
Sedangkan pada Jumat (1/1), kepala Pengawal Revolusi Iran Jenderal Hossein Salami mengatakan Iran sepenuhnya siap untuk menanggapi setiap tekanan militer AS. "Kami akan memberikan kata-kata terakhir kami kepada musuh kami di medan perang," katanya dalam sebuah upacara di Tehran University untuk menandai hari peringatan meninggalnya pemimpin Pasukan Quds Garda Revolusi Iran.
Jenderal Soleimani dilaporkan tiba di Irak dari Beirut dan melakukan perjalanan dengan konvoi kendaraan saat meninggalkan bandara Baghdad. Ketika itu pesawat nirawak AS menyerang.
Soleimani terbunuh bersama dengan seorang pemimpin milisi Irak dan menimbulkan kemarahan besar atas serangan yang dinilai menyerang kedaulatan Irak. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menyebutnya sebagai tindakan terorisme internasional dan eskalasi yang berbahaya dan bodoh.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, bersumpah akan melakukan pembalasan yang keras. Selama hari-hari berikutnya, potret pemimpin militer itu menghiasi jalan-jalan di Teheran. Massa mengangkat tanda-tanda menuntut balas dendam.