REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden terpilih Joe Biden mencatat ada standar ganda penegak hukum terhadap pendukung Donald Trump yang menerobos masuk Capitol Hil dan aktivis Black Lives Matter (BLM). Pendukung Trump ingin mengubah hasil pemilu yang sah sementara BLM menuntut keadilan rasial di AS.
"Tidak ada yang dapat memberitahu saya apabila yang berunjuk rasa kemarin Black Lives Matter. Mereka akan diperlakukan dengan sangat berbeda dibandingkan massa preman yang menyerbu masuk Capitol Hill," kata Biden seperti dikutip Aljazirah, Kamis (8/1).
Hal ini ia sampaikan dalam pidatonya mengumumkan Menteri Kehakiman di Wilmington, Delaware. "Kami semua tahu hal itu benar dan tidak dapat diterima," tambah Biden.
Selama gelombang unjuk rasa BLM menerpa seluruh negeri pada pertengahan 2020 lalu, penegak hukum mengerahkan kekuatan berlebihan di puluhan kota di AS. Petugas menggunakan pembubar kimia, peluru karet, dan tongkat besi untuk membubarkan pengunjuk rasa damai dan sedikit pelaku pengerusakan dan penjarah. Lebih dari 14 ribu orang ditahan.
Sementara dalam penyerbuan ke Capitol Hill, polisi hanya menahan 68 orang yang sebagian besar melanggar jam malam yang ditetapkan Wali Kota Washington D.C. walaupun faktanya mereka menyita sejumlah senjata dan alat peledak rakitan.
Sejumlah orang dikawal keluar dari lokasi penyitaan, beberapa di antaranya tidak diborgol. Wakil Presiden terpilih AS Kamala Harris mengatakan sistem peradilan AS tidak berlaku sama antara warga kulit putih dan kulit hitam atau orang kaya dan orang miskin. Ia berjanji mengatasi ketimpangan tersebut.
"Tantangan yang kami hadapi di negara kami lebih dari tindakan beberapa orang yang kami saksikan kemarin," kata Harris.
"Ini tentang bagaimana melakukan reformasi untuk mengubah sistem peradilan yang tidak bekerja secara setara bagi semua, sistem peradilan berlaku berbeda tergantung apakah Anda berkulit hitam atau putih," kata mantan jaksa agung Kalifornia itu.
Para aktivis dan pengamat mengecam apa yang menurut mereka standar ganda rasialis polisi. Menurut mereka perlakuan polisi terhadap pengunjuk rasa kulit hitam dengan massa pendukung Donald Trump yang berkulit putih sangat berbeda.
"Saat orang kulit hitam menggelar protes atas nyawa kami, kami terlalu sering bertemu dengan pasukan Garda Nasional atau polisi yang dilengkapi senjata serbu, gas air mata, dan helm tempur," ungkap Black Lives Matter Global Network Foundation dalam pernyataannya.
"Ketika orang kulit putih mencoba melakukan kudeta, mereka bertemu dengan penegak hukum yang kewalahan yang tidak berdaya untuk melakukan intervensi, bertindak terlalu jauh dengan melakukan swafoto dengan teroris," tambah lembaga swadaya masyarakat tersebut.
Juni tahun lalu pemerintah Trump mengerahkan pasukan federal untuk membubarkan pengunjuk rasa BLM dengan granat kejut dan gas air mata. Tindakan itu diambil agar Trump bisa melakukan foto sambil memegang Alkitab di depan gereja dekat Gedung Putih.
Mantan presiden Barack Obama, George W Bush, Bill Clinton, dan Jimmy Carter juga mengungkapkan kekhawatiran mereka. Beberapa di antaranya menyalahkan Trump atas ketidakadilan tersebut. Mantan ibu negara Michelle Obama juga memberikan komentar mengenai isu ini.
"Musim panas ini pengunjuk rasa Black Lives Matter menggelar gerakan damai, tapi setelah satu kota dan satu kota lainnya kami melihat pengunjuk rasa damai berhadapan dengan kekuatan brutal," katanya di Twitter.